NUIM HIDAYAT

Mari Kita Bangun Peradaban Islam Terbaik di Indonesia

Memang bila kita cermati, tanggal 17 Agustus 1945 selain sebagai hari proklamasi kemerdekaan juga hari sekulerisasi nasional (menjauhkan Islam dari perpolitikan nasional). Dulu sebelum merdeka, Indonesia adalah terdiri dari Kerajaan-kerajaan Islam. Kerajaan Demak, Kerajaan Samudra Pasai, Kerajaan Ternate, Kerajaaan Tidore, Kerajaan Cirebon, Kerajaan Banten dan lain-lain.

Ketika merdeka, Soekarno ‘memaksa’ Kerajaan itu bubar semua. Sehingga mereka semua akhirnya tunduk pada Soekarno. Kita tahu bahwa Soekarno idolanya adalah Kemal Attaturk di Turki. Bila Kemal menghancurkan kekhilafahan di Turki, maka Soekarno menghancurkan Kerajaan-kerajaan Islam di tanah air. Sekulerisasi ala Soekarno ini akan berlanjut kemudian dengan penghapusan huruf Arab Melayu dalam pendidikan nasional.

Soekarno juga sengaja memilih hari kebangkitan nasional ke pergerakan Budi Utomo daripada Syarikat Islam. Memilih tokoh pendidikan Ki Hajar Dewantoro daripada KH Hasyim Asyari dan KH Ahmad Dahlan. Memilih tokoh wanita Rajen Ajeng Kartini daripada Malahayati dan Tjut Nyak Dien. Dan ujungnya nanti Soekarno lebih memilih rangkulan dengan PKI dan membubarkan Partai Islam Masyumi. Maka tidak salah bila dikatakan bahwa Soekarno adalah perusak nasional dalam kacamata Al-Qur’an.


Alhamdulillah meski sekulerisasi yang dilakukan tokoh-tokoh PNI dan PKI begitu gencarnya di Indonesia, tokoh-tokoh Islam Masyumi tidak pernah menyerah dalam berjuang. Ketika Masyumi dibubarkan 1960, dan tokoh-tokohnya dipenjara oleh Soekarno, semangat perjuangan Islam Masyumi terus menyala. Dalam penjara mereka menulis buku, berdiskusi dan rapat meneruskan perjuangan bila suatu saat merdeka.

Peristiwa G30SPKI yang disusun dengan rapi oleh PKI ternyata gagal. Allah menyelamatkan Jenderal Nasution (yang terkenal shalih dan cerdas) dari penggerebekan tentara komunis di malam Jahannam itu. PKI akhirnya digulung oleh Nasution dan Soeharto. Soekarno yang tidak mau membubarkan PKI dilengserkan 1967.

Setelah Orde Soekarno berganti dengan Orde Soeharto maka tahanan-tahanan politik yang dipenjara Soekarno semua dibebaskan. Natsir, Kasman, Sjafruddin dan lain-lain bebas.

Tokoh-tokoh Islam Masyumi ini berpikir keras bagaimana melanjutkan perjuangan Islam di Indonesia. Mereka ingin menghidupkan lagi Partai islam Masyumi. Tapi Pak Harto yang saat itu dikelilingi kelompok pemikir Katolik CSIS (Centre for Strategic and International Studies), melarangnya. Bahkan bukan hanya partainya yang dilarang, tokoh-tokohnya pun tidak boleh tampil memimpin partai politik di Indonesia. Bila di zaman Orde Lama, Soekarno berangkulan dengan PKI, Soeharto di awal pemerintahannnya berangkulan dengan CSIS (yang di-back up Amerika).

Pengapnya kehidupan politik ini menjadikan Natsir dan kawan-kawan akhirnya membentuk gerakan dakwah. Tahun 1967 mereka membentuk Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia. Terkenal ucapan Pak Natsir: Bila dulu kita berdakwah dengan politik, maka kini kita berpolitik lewat dakwah. Sjafruddin Prawiranegara, mantan Presiden Pemerintah Darurat Republik Indonesia membackup penuh Natsir. Di sana juga berkumpul para tokoh Masyumi lain seperti Rasjidi, Mohammad Roem, Burhanuddin Harahap dan lain-lain.

Natsir, mantan Ketua Umum Partai Masyumi dan mantan Perdana Menteri RI, dan Kawan-kawan serius menggarap dakwah Islam ini. Mereka mengumpulkan para dai se Indonesia, membinanya di Jabotabek dan kemudian dikirim ke seluruh pelosok tanah air Indonesia. Selain itu Natsir juga menerbitkan majalah, buku, bulletin dan lain-lain. Dai dan para intelektual muda dihimpun untuk perjuangan Islam di tanah air. Amien Rais, Syafii Maarif, Kuntowijoyo, Nurcholish Madjid, Yusril Ihza, AM Saefuddin, Abu Ridho, Abbas Aula, Cholil Ridwan, Daud Rasyid dan lain-lain adalah ‘kader Natsir’.

Sementara itu di luar sana, Soeharto dengan CSIS dan Golkarnya makin merajalela. Tokoh-tokoh politik PNI, PKI, dan ‘partai-partai Kristen’ dll bergabung dalam Partai Demokrasi Indonesia. ‘Tokoh-tokoh Islam KW’ bergabung dalam Partai Persatuan Pembangunan.

Perjuangan tokoh-tokoh Masyumi dan tokoh-tokoh NU lewat ‘dakwah kultural’ akhirnya membuahkan hasil. Meski secara politik dihalangi, tapi tokoh-tokoh Islam masuk dalam pendidikan, budaya, ekonomi dan lain-lain. Sehingga akhirnya jilbab yang tadinya dilarang di sekolah akhirnya merebak ke seluruh tanah air, pengusaha-pengusaha Muslim menggeliat, sekolah-sekolah Islam tumbuh, buku-buku Islam marak dan lain-lain. Yang mengagetkan para politikus dan ‘Indonesianis’ adalah tumbuhnya dakwah yang pesat di kampus-kampus negeri di tanah air era 80-90an. Di UGM tumbuh Jamaah Shalahuddin, ITB tumbuh Kelompok Salman, Di UI tumbuh kelompok Arif Rahman Hakim, di IPB tumbuh Jamaah al Ghifari dan lain-lain. Mereka tidak menyangka dakwah Islam tumbuh pesat di kampus-kampus negeri.

Arus ‘demilitanisasi’ dan deradikalisasi yang dihembuskan kelompok sekuler sekarang ini, seperti yang dikomandani LSM Setara dan Ade Armando, tidak ada pengaruhnya. Dakwah tetap tumbuh di kampus-kampus, jilbab tetap marak di sekolah-sekolah dan seterusnya.

Laman sebelumnya 1 2 3 4Laman berikutnya

Artikel Terkait

Back to top button