Masalah Jokowi Bukan Masalah Ijazah

Masalah Jokowi, bila dicermati sungguh-sungguh bukanlah masalah ijazahnya. Masalah mantan Presiden RI ini adalah masalah siapa di belakangnya saat ia memerintah.
Dengan pengakuan Dekan Fakultas Kehutanan UGM, Kabareskrim Polri dan teman-teman Jokowi saat kuliah, masalah ijazah Jokowi ini harusnya sudah selesai. Mereka menyatakan bahwa Jokowi pernah kuliah dan lulus dari Fakultas Kehutanan UGM serta ijazah Jokowi adalah asli dari UGM. Entah apa maksudnya masalah ini jadi berkepanjangan.
Harusnya yang dijadikan perhatian umat Islam adalah mengapa Jokowi ketika memerintah, banyak merugikan umat Islam. Misalnya Jokowi memenjarakan banyak tokoh dan aktivis Islam, membubarkan ormas-ormas Islam, melakukan deislamisasi dan dehabibisasi dan lain-lain.
Bila diperhatikan latar belakang Jokowi, maka Jokowi ini tidak mengerti soal ideologi, pertarungan ideologi, pembangunan kebudayaan dan lain-lain. Latar belakangnya yang hanya walikota Solo dan sebentar menjadi gubernur DKI Jakarta, menjadikan ia ‘mudah disetir’. Sehingga tokoh politik Fadli Zon menamakan Jokowi Presiden Boneka, saat ia naik jadi presiden 2014 lalu.
Boneka siapa? Bonekanya Luhut B Panjaitan dan jaringannya. Luhut dan timnyalah yang siap dengan Pembangunan Indonesia di era Jokowi. Maka jangan heran kemudian programnya ‘deradikalisasi’ (Islam) digencarkan, HTI dan FPI dibubarkan dan lain-lain. Ribuan tenaga kerja dari China masuk ke Indonesia, peran Luhut juga cukup besar. Pengangkatan dan pemecatan menteri di era Jokowi juga disinyalir peran Luhut cukup besar.
Masuknya tim Luhut ke Presiden Jokowi ini mirip dengan masuknya CSIS (Centre for Strategic and Internasional Studies) ke presiden Soeharto di awal pemerintahannya. Pak Harto saat naik jadi presiden 1967 tidak siap dengan konsep Pembangunan Indonesia ke depan. Tim CSIS yang mempunyai jaringan dengan Amerika saat itu siap dengan konsep. Sehingga jangan heran sekitar 20 tahun pemerintahan Soeharto, umat Islam terpinggirkan dalam Pembangunan nasional. Sekitar tahun 1988 setelah pergi haji, pak Harto mulai berubah politik dalam negerinya. Saat itu ia mulai merangkul umat Islam, memecat Jenderal Benny Moerdani, meninggalkan CSIS dan merapat ke ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia).
Jokowi setelah lengser jadi presiden, ibaratnya sudah menjadi bebek lumpuh. Memang ia punya peran besar dalam menjadikan Prabowo menjadi presiden, tapi secara formal kini ia tidak punya kekuatan apa-apa. Ia mungkin kini hanya menjadi ‘penasihat tidak resmi’ presiden Prabowo.
Presiden Prabowo bila kita cermati kebijakannya menyangkut umat Islam, ia cenderung main aman. Bila Jokowi dan timnya memusuhi Habib Rizieq (dan tokoh-tokoh Islam lainnya), bahkan memenjarakannya, Prabowo tidak. Prabowo lewat utusan-utusan resminya menjalin hubungan baik dengan Habib Rizieq, tokoh yang dianggap paling vokal menyuarakan kepentingan umat Islam di tanah air.
Prabowo menjaga keseimbangan antara Islam dan non Islam di kementeriannya. Lihat beberapa kementerian dijabat Muslim dan Non Muslim.
Kelebihan Prabowo memang ia tidak lagi memenjarakan tokoh-tokoh dan aktivis umat Islam, tapi kelemahannya dalam bidang ekonomi, ia melanjutkan kebijakan pemerintahan Jokowi (‘yang jelas gagal’). Dalam bidang pendidikan, sosial budaya, teknologi, militer dan lain-lain tidak jelas arah Prabowo. Prabowo misalnya sampai kini tidak berani membubarkan BRIN yang dibentuk Jokowi dan tim PDIP. Padahal proyek BIN ini diduga kuat adalah proyek dehabibisasi. Dan Prabowo dulu dikenal cukup dekat dengan mantan Presiden Habibie.
Membaca politik Indonesia memang tidak mudah. Masyarakat cenderung ikut arus. Apalagi kini ada media sosial. Masyarakat mudah terbawa arus yang popular. Mereka yang pintar omong -meski kadang salah- yang jadi panutan. Masyarakat awam tidak bisa mencerna berbagai fakta yang ada, sejarah di balik fakta itu dan lain-lain.
Membaca politik, selain fakta-fakta yang nampak, juga harus membaca fakta-fakta yang tidak nampak. Ini yang orang awam juga tidak bisa membacanya. Pesan mantan Ketua Umu Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), Hussein Umar, ini patut direnungkan, ”Di balik pertarungan politik, ekonomi dan berbagai pertarungan di negeri ini ada pertarungan ideologi.” Wallahu azizun hakim. []
Nuim Hidayat, Direktur Forum Studi Sosial Politik.