JEJAK SEJARAH

Masjid Al-Mussawa dan Eksistensi Komunitas Arab di Medan

Komunitas Arab di Indonesia secara sejarah memiliki catatan yang panjang. Menurut Buya Hamka, Islam di Nusantara dibawa oleh pedagang sekaligus pendakwah dari Timur Tengah (Fitria, 2024). Menurut L.C. Berg, orang-orang yang datang ke Nusantara sebagai pendakwah rata-rata berasal dari Hadramaut, Yaman.

Ada beberapa faktor yang membuat golongan Arab Hadramaut atau yang kemudian dikenal dengan nama Sayyid atau Habaib datang ke berbagai kawasan Nusantara. Pertama, kemampuan berpergian dimudahkan oleh jaringan perdagangan. Kedua, hubungan intelektual mereka dengan ulama internasional, sehingga kadar keulaman mereka mudah dikenali. Ketiga, adanya konflik internal berkepanjangan dalam masyarakat Hadrami dan minimnya sumber daya alam (Batubara, 2020).

Para pendakwah yang datang ke Nusantara, khususnya dari golongan Sayyid. Secara langsung di dalam perkembangannya, mereka banyak membentuk komunitas-komunitas Arab. Adapun tempat mereka bermukim disebut masyarakat sebagai kampung Arab. Dan salah satu komunitas kampung Arab yang ada di Nusantara, salah satunya berada di Sumatera Utara tepatnya di kota Medan.

Kedatangan Orang Arab di Kota Medan

Kota Medan merupakan kota dengan penduduknya yang sangat majemuk. Berbagai bangsa asing, seperti Cina, India, Eropa, dan Arab, hidup berdampingan dengan damai di kota ini. Adapun golongan Arab atau Sayyid sudah mulai datang ke Sumatera Utara khususnya Kota Medan sejak abad ke-19. Kedatangan mereka ke Medan selain untuk berdagang juga untuk berdakwah.

Sejak tahun 1905, orang-orang Arab di Medan mulai membentuk sebuah perkampungan untuk komunitas mereka. Permukiman orang Arab di Medan ada di beberapa tempat, seperti Kampung Silalas, Sungai Kera, Pandau Hulu, Jalan Lembu, Jalan Sutrisno, dan Kampung Dadap. Namun, saat ini hanya Kampung Dadap saja yang masih diisi oleh komunitas Arab (Batubara, 2020).

Masjid Al-Mussawa

Dari beberapa masjid bersejarah lainnya di Kota Medan, Masjid Al-Mussawa termasuk yang paling jarang disoroti keberadaannya. Sebab letaknya yang tersembunyi diantara bangunan-bangunan ruko dan perkantoran (Prasandi, 2021). Masjid yang juga akrab disebut dengan Masjid Arab ini sejatinya memiliki sejarah yang panjang terkait keberadaannya.

Penamaan Masjid Al-Mussawa ini diambil dari pewaqafnya yang bernama Sayyid Abdurrahman Al-Mussawa. Masjid Al-Mussawa didirikan pada tahun 1890 M atau 1311 H oleh komunitas Arab yang masih saat itu berbentuk mushola kecil. Sejarah keberadaan masjid ini, menurut beberapa sumber diawali oleh rasa “cemburu” kelompok etnis Arab terhadap orang-orang melayu dan India yang sudah lebih dahulu membangun masjid.

Awalnya Masjid Al-Mussawa ini hanya sebatas mushola dengan bangunan papan seadanya. Berselang 12 tahun bentuk bangunan dirombak dan mulai disisipi batu serta papan dalam konstruksi bangunan. Seiring berjalannya waktu Sayyid Abdurrahman Al-Mussawa menyerahkan masjid ini kepada Syekh Mahmud Khayat.

Syekh Mahmud Khayat merupakan seorang tokoh ulama di Kota Medan. Kesultanan Deli dan para ulama tradisional Tanah Deli menilai Syekh Mahmud Khayat adalah seorang ulama progresif yang selalu gigih memperjuangan ajaran Islam. Selama 61 tahun berdakwah di Sumatera Timur, khususnya di Deli. Syekh Mahmud Khayat banyak melakukan terobosan-terobosan dalam menghadapi realitas kehidupan ber-Islam di Deli.

Salah satu bentuk terobosan itu adalah anjurannya agar khotbah Jumat yang pada masa-masa sebelumnya hanya disampaikan dalam Bahasa Arab dapat diisi dengan bahasa Indonesia atau yang dimengerti oleh pendengarnya. Syekh Mahmud ingin agar khotbah Jumat tidak hanya sekedar seremonial, namun mampu memberikan wawasan keislaman yang dapat di pahami (Ichsan, 2023).

Masjid Al-Mussawa merupakan simbol bukti dari eksistensi masyarakat Arab di Kota Medan sejak era kolonial Hindia Belanda hingga saat ini. Keberadaannya telah menjadi nilai sejarah di wilayah Nusantara. []

Dimas Sigit Cahyokusumo, Penikmat Tasawuf dan Sejarah asal Jakarta.

Artikel Terkait

Back to top button