MASAJID

Masjid Kampus Islam: Antara Prioritas dan Efisiensi Anggaran

Akuntabilitas Moral

Maka, jika sampai tahun akademik 2026 Masjid Kampus III UIN Imam Bonjol masih tak juga rampung, publik berhak bertanya: apakah kampus ini serius membangun tradisi Islam, atau sekadar menjual nama “Islam” di papan nama fakultas? Efisiensi boleh jadi istilah yang enak di telinga birokrat, tapi di balik itu tersembunyi risiko besar: keislaman yang hanya sebatas branding.

Sejarah masjid kampus di Indonesia sebenarnya membuktikan bahwa rumah ibadah bisa menjadi pusat kebangkitan intelektual. Salman ITB, Ulul Albab UINSA, hingga masjid-masjid di kampus negeri besar yang lain, menjadi bukti nyata. Perbedaannya hanya pada komitmen. Kampus yang serius membangun masjid menunjukkan Islam bukan hanya jargon, melainkan praksis yang hidup.

Karena itu, pembangunan masjid bukan sekadar urusan teknis kontraktor. Ia adalah cermin niat kampus: apakah benar ingin melahirkan sarjana beriman, atau sekadar menambah daftar gedung untuk laporan tahunan. Jika masjid dipandang non-efisien, maka jelas, yang sedang kita saksikan adalah penyusutan makna keislaman menjadi sebatas slogan. Dan ketika itu terjadi, masjid kampus hanya akan jadi janji yang tertunda, kubah indah yang tak pernah rampung, dan simbol kosong dari Islam yang kehilangan pusatnya.[]

Muhibbullah Azfa Manik, Dosen di Universitas Bung Hatta, Padang, Sumatera Barat.

Laman sebelumnya 1 2 3

Artikel Terkait

Back to top button