Masjid kok Diawasi, Ada Apa?
Wapres KH Ma’ruf Amin mengarahkan agar dilakukan pengawasan terhadap masjid – masjid untuk mencegah terjadinya ujaran kebencian. Secara khusus, pengawasan dilakukan terhadap konten ceramah dan atau khotbah di masjid – masjid. Bukan berarti, menurut wapres, pengawasan itu di dalam masjid, akan tetapi bisa dilakukan aparat di luar masjid.
Frase ujaran kebencian yang dikuatirkan lahir dari masjid sangatlah bersifat subyektif. Jika mau obyektif, konsekwensinya aparat juga mestinya mengawasi semua tempat ibadah, tidak hanya masjid. Karena ujaran kebencian itu tidak hanya berpotensi muncul dari mulut para dai saat berceramah maupun berkhotbah.
Mari kita melihat secara obyektif. Diskriminasi terhadap muslim Uighur, bahkan sampai kepada tragedi kemanusiaan, dilakukan oleh pemerintah China. Baru – baru ini juga PBB mengecam keras adanya peraturan di India yang anti terhadap muslim. Begitu pula, pembantaian kaum muslimin di Rohingya. Penembakan terhadap kaum muslimin di dua masjid New Zealand pada Maret 2019, masih menyisakan duka mendalam. Virus Islamofobia telah mendorong terjadinya ketidakadilan kepada muslim. Lantas, timbul pertanyaan, apakah pemerintah telah terjangkit virus islamophobia?
Kalau dikatakan bahwa ujaran kebencian itu dipakai untuk menimalisir sentimen anti pemerintah, bagaimanakah batasannya? Apakah yang mengkritik kebijakan pemerintah disebut sebagai ujaran kebencian? Rakyat tentunya tidak boleh tinggal diam di saat pemerintah menelorkan kebijakan – kebijakan yang dholim terhadap rakyat. Kasus pembuangan 20 ribu ton beras oleh Bulog bisa disebut kedholiman. Di tengah rakyatnya yang kesulitan ekonomi, bahkan disinyalir ada 22 juta penduduk yang kelaparan, begitu teganya beras dalam jumlah sebegitu banyaknya dibuang begitu saja. Mengapa sejak awal tidak didistribusikan kepada rakyat yang membutuhkan?
Ini secuil contoh kebijakan yang mengharuskan rakyat untuk mengkritisinya. Dan akibat dari kebijakan yang dholim tersebut menimpa kepada semua rakyat tanpa membedakan agamanya. Konsekwensinya, wajar pula bila rakyat manapun di negeri ini melakukan kritik kepada pemerintah. Jika demikian, tidaklah fair bila hanya umat Islam yang menjadi obyek pengawasan oleh aparat. Ataukah memang benar bila pemerintah yang ada adalah pemerintahan anti kritik.
Sesungguhnya masjid itu merupakan tempat ibadah. Di dalamnya, umat Islam bersujud dan menyembah Allah; berzikir; membaca dan mempelajari Al-Qur’an. Dengan adanya masjid menjadi pusat kegiatan umat dan syiar – syiar agama Islam. Pendek kata, masjid menjadi sarana agar umat Islam ini menjadi umat yang bertakwa kepada Allah SWT.
Tidak layak masjid diawasi. Selain bahwa mayoritas rakyat negeri ini adalah muslim, yang tentunya mereka punya andil besar sejak era perjuangan bangsa hingga mengisi kemerdekaan. Umat Islam menjadi motor penggerak kemajuan bangsa. Jadi sangat disayangkan bila umat Islam dicurigai dan tempat ibadahnya diawasi.
Adapun terkait dengan ajaran Islam. Sesungguhnya Al-Qur’an dan Hadits yang notabenenya menjadi sumber utama ajaran Islam adalah firman Allah dan sabda Rasul-Nya yang mulia. Terbersit sebuah tanya, apakah para ustadz dalam ceramahnya yang materinya merupakan ajaran Islam disebut berpotensi mengandung ujaran kebencian dan menimbulkan perpecahan bangsa? Sangat miris jika demikian. Ajaran Islam itu guidence bagi kehidupan manusia agar selamat dalam kehidupan dunia maupun akherat. Orang yang beriman dengan benar akan taat kepada semua ajaran Islam, hanya dengan harapan ingin mendapat keridhoan Allah SWT. Tidaklah patut seorang muslim untuk mencurigai agamanya sendiri bahkan bila tega – teganya mengkriminalkan agamanya.