SUARA PEMBACA

Mati Suri Pendidikan Tinggi

Dalam Islam terdapat tuntunan tentang kewajiban menuntut ilmu,

 طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ

Menuntut ilmu itu, wajib atas setiap Muslim. (HR Ibnu Majah no. 224, dari sahabat Anas bin Malik RA, dishahihkan Al-Albani dalam Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir no. 3913)

Kewajiban ini, tidak hanya mengacu pada individu muslim, namun menjadi tugas negara untuk menyediakannya segala sarana dan prasarana bagi kemudahan proses belajar. Pun sebaliknya, menjadi kewajiban  masyarakat dan individu untuk menuntut ilmu, mengembangkan potensi diri, demi tegaknya izzul Islam wal muslimin atau kejayaan Islam dan kaum muslim.

Philip Khuri Hitti, seorang penulis Kristen yang lahir di Shimlan, Suriah Utsmaniyah, memperkenalkan sejarah kebudayaan Arab ke Amerika. Dalam bukunya ‘History of the Arabs’, menuliskan betapa indahnya Baghdad. Ia menyebutnya sebagai Kota Intelektual. Para ilmuwan dari berbagai penjuru negeri, mengunjungi Baghdad umtuk menimba ilmu.

Kala itu, negara yang berlandaskan Al-Qur’an dan As-Sunnah, telah menyiapkan pendidikan tinggi kelas dunia, ada Nizhamiyah (1067-1401) di Baghdad, Al-Azhar (975 sampai sekarang) di Mesir, Al-Qarawiyyin (859 sampai sekarang) di Fez, Maroko, dan Sankore (989 sampai sekarang) di Timbuktu, Mali, Afrika. Sekolah tinggi ini juga menerima para pelajar dari negara Barat.

Maka tak heran, orang yang menguasai banyak ilmu atau Polymath, bertaburan di masa kejayaan Islam, seperti, Ibnu Sina (pakar kedokteran), Al-Khawarizmi (pakar matematika), Al-Idrisi (pakar geografi), Az-Zarqali (pakar astronomi), Ibnu Al-Haitsam (pakar fisika), Jabir Ibnu Hayyan (pakar kimia), dan masih banyak lagi. Nama mereka semerbak hingga saat ini.

Tim Wallace-Murphy (WM) dalam bukunya berjudul “What Islam Did for Us: Understanding Islam’s Contribution to Western Civilization” (London: Watkins Publishing, 2006), menuliskan  transfer ilmu pengetahuan dari Dunia Islam (Khilafah) ke Dunia Barat pada abad pertengahan. Negara memberikan dukungan yang melimpah bagi dunia pendidikan.

Di masa itu, lembaga swasta yang ingin menangguk keuntungan, tidak memiliki peluang, sebab seluruh kebutuhan pendidikan telah tercukupi oleh negara. Tanggung jawab membentuk ‘Khoiru Ummah’ benar-benar diterjemahkan dalam kehidupan sehari-hari, oleh negara. Karenanya masyarakat memperoleh limpahan ilmu dengan sangat mudahnya. Semuanya diperoleh secara cuma-cuma, dengan fasilitas terbaik. Para pengajar juga mendapat tunjangan kehidupan yang baik, sehingga mereka mendedikasikan penuh, ilmunya, bagi kemajuan pendidikan.

Di samping itu, terdapat mekanisme Surthah dan Qadhi (polisi dan hakim) serta bentuk persanksian berupa ta’zir, untuk meluruskan, jika ditemukan adanya pelanggaran terhadap pendidikan, baik berupa kurikulum yang tidak berlandaskan akidah, praktik penipuan, dan sebagainya, yang menghalangi tersampainya ilmu kepada masyarakat.

Dalam Islam, seluruh manusia menerima  pemahaman Islam kaffah yang akan  membumikan Al-Qur’an, Tafaqquh fiddiin,  mampu mengurai permasalahan umat dengan solusi yang sahih, yaitu Islam. Inilah sebaik-baik bentuk negara yang menjaga hak warganya agar senantiasa dalam ketinggian berpikir. []

Lulu Nugroho, Muslimah tinggal di Cirebon.

Laman sebelumnya 1 2

Artikel Terkait

Back to top button