Meluruskan Pemahaman tentang Wali Allah dan Karamah

Hakikat Karamah: Bukan Sekadar Kekuatan Super
Para ulama mendefinisikan karamah sebagai keistimewaan yang Allah berikan kepada hamba-Nya yang beriman dan bertakwa, berupa sesuatu yang melampaui apa yang konvensional atau yang terjadi pada umumnya, seperti terbang, menggandakan diri, menempuh perjalanan jauh hanya dengan durasi waktu singkat, dan sebagainya. Anugerah ini merupakan manifestasi dari pertolongan dan cinta Allah kepada hamba-hamba-Nya yang berjuang di jalan-Nya.
Namun, yang dimaksud dari “melampaui yang konvensional” tidak hanya terbatas pada kekuatan-kekuatan superhero, melainkan lebih dari itu: sebuah kedekatan dengan Sang Kekasih (Allah). Sehingga, tak mengherankan jika para ulama mengatakan, “Istiqamah lebih utama dari seribu karamah.” Hal ini dikarenakan istiqamah (konsisten dalam bertakwa kepada Allah) merupakan wujud kedekatan seorang hamba dengan Sang Penciptanya. Berbeda dengan kekuatan superhero, yang itu tidak mutlak menjadi indikator kedekatan seorang hamba dengan Tuhannya.
Mari kita ambil contoh para penyihir pada zaman Nabi, Labid bin al-A’sam, yang mampu menyihir (santet) Nabi dengan bantuan setan. Kita semua juga tahu, bahwa kelak ketika Dajjal datang, ia akan mampu menurunkan hujan dan menghidupkan orang mati. Namun, dengan keajaiban yang ia miliki, apakah itu merupakan tanda bahwa ia adalah kekasih Tuhan? Bukankah malah sebaliknya?
Dari uraian singkat di atas, bisa diambil kesimpulan bahwa karamah bukan sekadar sebuah keajaiban yang melampaui hukum-hukum fisika, tetapi merupakan anugerah yang diberikan kepada hamba-Nya yang beriman dan bertakwa, dalam format yang berbeda-beda.
Keajaiban yang dimiliki manusia bukanlah ukuran kedekatan ia dengan Sang Pencipta. Namun, ketakwaanlah yang menjadi ukuran. Kita jarang mendengar cerita-cerita karamah para sahabat Nabi, tetapi justru orang-orang saleh yang hidup pada masa setelahnya yang lebih sering kita dengar memiliki keajaiban-keajaiban “superhero.”
Namun, apakah ini menunjukkan bahwa orang-orang saleh yang hidup setelah sahabat lebih utama dari sahabat? Jelas tidak. Karena sebagaimana disabdakan Nabi: “Seutama-utama masa adalah masaku, kemudian masa setelahku, dan masa setelahnya, dan seterusnya.” Wallahu a’lam.
Adzin Aris, Mahasiswa UIN Raden Mas Said Surakarta.