Membaca Lawan
Tahun ‘96-an saya berkenalan dengan seorang wartawan senior. Waktu itu ia tiap hari berlangganan koran Kompas. Ia bangga. Kenapa? Bukan ia setuju dengan redaksi Kompas, tapi dengan berlangganan itu, ia jadi tahu sikap Kompas. Sikap sebuah media yang punya kebijakan anti Islam Politik.
Gaya wartawan senior seperti ini jarang dimiliki umat Islam. Kebanyakan umat membaca apa yang sesuai dengan keinginannya. Membaca apa-apa yang sesuai dengan politik kelompoknya dan sesuai pemikiran kawan-kawannya.
Sikap hanya membaca pendapat kawan, itu baik. Tapi tidak cukup. Dalam dunia pertarungan pemikiran saat ini -ideologi, politik, ekonomi dll- seseorang harus melatih diri membaca sikap lawan. Know your enemy kerennya.
Maka saya tidak heran bila cendekiawan ulung Malaysia Prof Naquib Al Attas mendorong mahasiswanya agar mempelajari peradaban Barat. Untuk apa? Agar tahu, kelebihan dan kelemahannya. Sehingga ketika berhadapan dengan mereka, maka anak panah akan dengan pas membidik pada lubang ketidakberdayaannya.
Itu juga dilakukan Barat. Kenapa ilmuwan-ilmuwan Barat bersusah payah mengkaji Indonesia, Timur Tengah dan dunia Islam? Ya untuk mencari kelemahannya. Untuk mencari titik titik lemahnya agar ia selalu dibawah kekuasaan Barat.
Maka saya kalau melihat ilmuwan atau kiai, kalau bacaannya hanya ilmu-ilmu Islam, saya gak begitu kagum. Tapi kalau dia udah membandingkan dengan ilmu-ilmu sekuler/Barat, maka saya mulai acungkan jempol dengannya. Karena mustahil mengalahkan Barat atau Cina dkk, tanpa kita tahu ilmu-,ilmu yang mereka miliki.
Tentu untuk membaca pendapat lawan, anda harus menguasai pendapat kawan dulu. Sebelum mempelajari Barat, anda harus menguasai ilmu Keislaman dulu. Kalo tidak, anda akan terkesima dengan Barat dan menjadi westernized.
Maka bila ada yang mengecam saya senang baca Tempo, Kompas, Cokro TV dan lain-lain saya biarkan saja. Saya anggap mereka ini belum memahami dunia perang pemikiran. Dengan saya membaca perspektif lawan, otak saya jadi cepat berputar untuk membantah kelemahan argumentasi mereka. Jadi bagi saya, membaca lawan adalah melatih kita untuk terus berpikir.
Dan itulah kelemahan Indonesia. Tanah air kita sudah diamati dan diobservasi oleh Barat sejak zaman Belanda. Politik, ekonomi, sosial, militer dan lain-lain sudah banyak dipahami mereka. Sedangkan pejabat atau cendekiawan kita banyak yang tidak paham sikap lawan atau mereka yang ingin mengeksploitasi tanah air. Sehingga tidak heran para pejabat kita menjadi antek Cina, antek Amerika, antek Belanda dll. Jabatan dan komisi menghilangkan sikap nasionalisme.
Walhasil, mulai latihlah otak kita untuk membaca lawan. Di samping membaca kawan. Dengan membaca lawan, juga kita cenderung bersatu. Perpecahan banyak terjadi karena salah mengidentifikasi kawan dan lawan.
Selamat berperang.
Nuim Hidayat
Ketua Dewan Da’wah Islamiyah-Depok
Alumni IPB dan UI.