OPINI

Membaca Ulang Perdebatan Ulama di Tengah Darah Gaza

Dalam membaca perdebatan keagamaan yang melibatkan otoritas keilmuan -Dar Ifta Mesir dan Persatuan Ulama Muslimin Sedunia terkait kasus keumatan dan kemanusiaan di Gaza, menurut penulis respons Dar Al-Ifta Mesir terhadap seruan jihad yang dikeluarkan oleh Persatuan Ulama Muslimin Sedunia menjadi salah satu momen penting yang menunjukkan bagaimana dinamika otoritas fatwa dan keberpihakan pada umat berlangsung di era modern.

Melalui telaah terhadap poin-poin yang disampaikan oleh Dar Al-Ifta, terlihat bahwa lembaga ini menempatkan jihad dalam kerangka yang sangat hati-hati dan prosedural—sesuatu yang sebenarnya “wajar” mengingat tanggung jawab mereka dalam menjaga stabilitas dan mencegah potensi chaos yang bisa timbul dari fatwa-fatwa yang bersifat reaktif. Berikut -salah satu- pernyataan Dar Ifta Mesir:

الجهاد مفهومٌ شرعيٌّ دقيق، له شروط وأركان ومقاصد واضحة ومحددة شرعًا، وليس من حق جهة أو جماعة بعينها أن تتصدر للإفتاء في هذه الأمور الدقيقة والحساسة بما يخالف قواعد الشريعة ومقاصدها العليا، ويعرِّض أمن المجتمعات واستقرار الدول الإسلامية للخطر.

Jihad adalah konsep syariat yang sangat penting dan kompleks. Ia punya syarat, tujuan, dan aturan. Jadi, tidak boleh sembarangan kelompok atau individu mengeluarkan fatwa tentang jihad tanpa pemahaman mendalam, karena itu bisa membahayakan stabilitas negara-negara Islam.

Jika ditelaah lebih lanjut, sebenarnya fatwa yang dinyatakan Persatuan Ulama Muslimin Sedunia sebenarnya menyatakan posisi mereka bahwa mereka adalah sekumpulan para ulama berilmu dan bukan individu tanpa otoritas. Mereka adalah figur-figur berilmu dan berpengalaman dari berbagai penjuru dunia Islam. Mereka menyuarakan seruan atas dasar tanggung jawab moral dan kewajiban syariah untuk menyampaikan kebenaran, bukan berdasarkan kepentingan politik atau sektarian.

Perlu ditekankan sebagai pengingat dalam kasus ini, bahwa fatwa—terutama dalam isu strategis seperti jihad—tidak bisa dimonopoli oleh lembaga-lembaga formal semata. Penulis -sebenarnya- ingin mengajak pembaca untuk tidak sekadar melihat debat ini dalam kerangka “pro” dan “kontra”, tetapi memahami dinamika intelektual dan spiritual yang sedang berlangsung: antara suara nurani ulama independen dengan kehati-hatian lembaga resmi. Karena pada akhirnya, yang paling dibutuhkan umat dari para ulama umat adalah panduan yang jujur, adil, dan mampu menjawab realitas dengan keberanian serta kebijaksanaan.

Untuk itu, menurut hemat penulis, ada beberapa fakta yang harus didudukkan untuk bisa memahami tanggapan dari Dar Ifta Mesir terhadap fatwa Jihad Persatuan Ulama Muslimin Sedunia:

Fakta Pertama: Tugas para ulama adalah menyampaikan kebenaran dari Allah dan Rasulnya. Sedangkan tugas pemimpin ummat -dalam hal ini pemimpin negara negara muslim- adalah menjalankan kebenaran tesebut.

Fakta Kedua: Setiap ulama yang memenuhi syarat untuk berfatwa tidak boleh diam ketika melihat kebenaran, karena Allah telah mewajibkan mereka untuk menyampaikan ilmu, bukan menyembunyikannya. Allah Ta’ala berfirman:

وَإِذْ أَخَذَ اللَّهُ مِيثاقَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتابَ لَتُبَيِّنُنَّهُ لِلنَّاسِ وَلا تَكْتُمُونَهُ

Dan (ingatlah) ketika Allah mengambil janji dari orang-orang yang telah diberi kitab (yaitu), “Hendaklah kalian menerangkan isi kitab itu kepada manusia, dan janganlah kalian menyembunyikannya.” [Q.S. Ali Imran/3: 187].

Fakta Ketiga: Para ulama yang berbicara ini bukan dari satu negara atau kelompok. Mereka berasal dari berbagai belahan dunia, berpendidikan tinggi, punya pengalaman, bahkan pernah menjabat sebagai pejabat penting. Mereka paham realitas dan bukan orang sembarangan.

1 2Laman berikutnya

Artikel Terkait

Back to top button