Membangun Generasi Rabbani di Era Digital

Di tengah hiruk pikuk notifikasi yang tak henti berbunyi, di antara kilauan layar yang menawan perhatian anak-anak kita, ada satu pertanyaan yang sering luput kita renungkan: Apakah generasi yang kita besarkan hari ini sedang tumbuh menjadi generasi Rabbani?
Konsep “Generasi Rabbani” bukan sekadar jargon indah. Al-Qur’an menegaskan:
مَا كَانَ لِبَشَرٍ اَنْ يُّؤْتِيَهُ اللّٰهُ الْكِتٰبَ وَالْحُكْمَ وَالنُّبُوَّةَ ثُمَّ يَقُوْلَ لِلنَّاسِ كُوْنُوْا عِبَادًا لِّيْ مِنْ دُوْنِ اللّٰهِ وَلٰكِنْ كُوْنُوْا رَبَّانِيّٖنَ بِمَا كُنْتُمْ تُعَلِّمُوْنَ الْكِتٰبَ وَبِمَا كُنْتُمْ تَدْرُسُوْنَۙ
“Tidak sepatutnya seseorang diberi Alkitab, hukum, dan kenabian oleh Allah, kemudian dia berkata kepada manusia, “Jadilah kamu para penyembahku, bukan (penyembah) Allah,” tetapi (hendaknya dia berkata), “Jadilah kamu para rabbani karena kamu selalu mengajarkan kitab dan mempelajarinya!”” (QS. Ali ‘Imran [3]:79)
Ayat ini menggambarkan generasi yang hidupnya terikat pada nilai-nilai Ilahi mereka belajar, mengajarkan, dan menghidupkan ajaran Allah dalam setiap tarikan napasnya. Namun, membangun generasi seperti ini di era digital bukan pekerjaan ringan. Dunia anak-anak kita kini dipenuhi algoritma yang memanjakan keinginan, mengikis kesabaran, dan mengalihkan perhatian dari hal-hal yang abadi kepada hal-hal yang fana.
Sejarah membuktikan, Rasulullah ﷺ membentuk generasi sahabat dengan pendekatan hati, bukan hanya transfer pengetahuan. Beliau mengajarkan Al-Qur’an bukan sekadar untuk dibaca, tapi untuk dihidupkan. Abdullah bin Umar r.a. pernah mengatakan bahwa para sahabat mempelajari sepuluh ayat Al-Qur’an, memahaminya, mengamalkannya, baru kemudian melanjutkan ke sepuluh ayat berikutnya. Proses ini membentuk pribadi yang kokoh iman, matang akhlak, dan bijak dalam menghadapi kehidupan.
Dalam konteks hari ini, orang tua Muslim dihadapkan pada medan pertempuran baru battlefield yang tidak kasat mata. Jika dulu orang tua cukup menjaga pergaulan anak di sekitar rumah, kini tantangan datang dari dalam genggaman tangan mereka sendiri: sebuah ponsel pintar yang dapat menjadi pintu kebaikan atau jurang kebinasaan. Seorang anak bisa belajar tajwid dari YouTube, tetapi di saat yang sama bisa terseret ke konten yang mengikis adab dan iman.
Lalu, bagaimana membangun generasi Rabbani di tengah arus deras ini?
Pertama, tanamkan tauhid sebelum teknologi. Anak yang mengenal Allah dengan benar akan memiliki kompas moral yang memandu langkahnya di dunia digital. Kedua, jadilah teladan, karena keteladanan orang tua adalah kurikulum hidup yang paling efektif. Rasulullah ﷺ tidak hanya memerintahkan kebaikan, beliau mencontohkannya secara nyata. Ketiga, bimbing literasi digital yang berlandaskan nilai Qur’ani. Ajarkan anak untuk kritis terhadap informasi, memilih tontonan yang mendidik, dan memanfaatkan teknologi untuk kebaikan.
Mendidik generasi Rabbani bukan sekadar menyiapkan mereka agar sukses duniawi, tetapi membentuk pribadi yang ketika kelak berdiri di hadapan Allah, mereka dapat berkata, “Ya Allah, inilah bekal yang aku bawa dari dunia.”
Mungkin kita tidak bisa mengendalikan seluruh arus dunia digital, tetapi kita bisa menyiapkan bahtera yang kokoh agar anak-anak kita mengarunginya dengan selamat. Dan bahtera itu bernama pendidikan Rabbani pendidikan yang menautkan hati kepada Allah, menanamkan akhlak mulia, dan membekali kecakapan hidup yang berpijak pada nilai-nilai abadi.
Pada akhirnya, membangun generasi Rabbani di era digital bukan tentang melarang anak mengenal teknologi, melainkan mengajarkan mereka bagaimana hidup dengan teknologi tanpa kehilangan Rabb-nya. Sebab, di setiap zaman, generasi terbaik bukanlah mereka yang paling canggih alatnya, tetapi mereka yang paling dekat hatinya kepada Allah. []
Fakhurrazi Al Kadrie S.H.I, M.Pd., Penyuluh Agama Islam Kementerian Agama Kota Pontianak.