Membangun Peradaban dengan Ilmu
Seandainya kita tahu, bagaimana dulu umat Muslim pernah menjadi sekelompok umat yang paling unggul. Tentu kita sekarang pastilah malu, sebab karya kita tak sehebat umat-umat terdahulu. Dan tahu kenapa mereka bisa menjadi seperti itu? Tidak lain dan tidak bukan adalah rasa ta’zim mereka terhadap ilmu.
Tentu hal ini seharusnya menjadi bahan koreksi kita, bahwa kebangkitan itu tidak bisa hanya dijadikan sebagai angan-angan atau cita-cita tanpa ada pergerakan nyata. Bahkan tidak sedikit kita saksikan bagaimana ulama-ulama besar dulu berjuang demi ilmu.
Mereka memulai perjuangannya dengan berjalan ratusan mil untuk mendatangi sumber ilmu. Seperti yang disampaikan Abu Ad Darda radhiallahu’ahu mengatakan. “Seandainya saya mendapatkan satu ayat dari Al-Qur’an yang tidak saya pahami dan tidak ada seorang pun yang bisa mengajarkannya kecuali orang yang berada di Barkul Ghamad (yang jaraknya 5 malam perjalanan dari Mekkah), niscaya aku akan menjumpainya”. Sa’id bin Al Musayyab juga mengatakan, “Saya terbiasa melakukan rihlah berhari-hari untuk mendapatkan satu hadits” (Al-Bidayah Wan Nihayah, Ibnu Katsir, 9/100).
Banyak pula kisah dari mereka yang merelakan waktu malamnya dengan sedikit tidur demi menuntut ilmu. Dalam kitab Tahdzibul Asma wal Lughaat, Muhammad Bin Abi Hatim menuturkan bahwa ia pernah bermalam bersama Imam Bukhari. Dia menghitung, dalam semalam Imam Bukhari setidaknya bangun sebanyak 15 sampai 20 kali. Seiap bangun, sang imam menyalakan api untuk meneranginya dalam mengulang-ulang hadis.
Abu Hatim pun terheran, mengapa ia tidak ikut dibangunkan setiap Imam Bukhari bangkit dari tidurnya. “Sebenarnya kamu bisa saja membangunkanku untuk ikut menemanimu, tapi mengapa kamu tidak melakukannya?” kata Abu Hatim. “Sesungguhnya kamu masih muda dan aku tidak suka merusak tidurmu,” jawab Imam bukhari singkat.
Itulah salah satu kisah bagaimana para ulama dulu bersungguh-sungguh untuk menuntut ilmu. Mereka berupaya sekuat tenaga bagaimana bisa mendapatkan ilmu secara maksimal. Dan usaha mereka dalam menuntut ilmu penuh dengan perjuangan. Semua itu dilakukan agar kaum Muslimin bangkit.
Dari kisah di atas, pantaslah kita harus malu. Rasa malu harusnya kita tanam. Namun, bukan untuk tidak bergerak, tapi untuk bahan evaluasi, sejauh mana usaha kita selama ini mengupayakan untuk menuntut ilmu demi sebuah kebangkitan? Yang katanya, kebangkitan itu yang kita nanti?
Tidak sulit sebenarnya, apalagi sekarang kita hidup bukan lagi di zaman yang serba terbatas. Semua akses bisa didapat dengan mudah, asal satu kuncinya niat dan kesungguhan. Salah satu kunci menuntut ilmu adalah dengan memaksa diri untuk gemar membaca buku. Sebagaimana kata pepatah, “Buku adalah jendela dunia”.
Bagaimana kita bisa melihat dunia bila tidak kita buka jendelanya? Sebagaimana ilmu, bagaimana kita bisa mendapatkan informasi dan memahami sejarah bila kita tidak pernah membaca atau tdak memahami ilmunya? Mari sama-sama bangun peradaban dengan ilmu. Yakni dimulai dari gemar membaca buku. []
Nevi Tri Wahyuni
Mahasiswi, Tinggal di Depok, Jawa Barat