Memburu Pembunuh Brigadir J: Mengapa Harus Lewat Pelanggaran Etik?
Bareskrim Polri, cq Timsus kasus pembunuhan Brigadir J, menyatakan 25 anggota kepolisian dari pangkat rendah sampai beberapa jenderal bintang satu diduga melanggar kode etik. Tiga di antara mereka ditetapksan sebagai tersangka. Selebihnya, 22 pesonel, masih akan diperiksa lebih lanjut.
Tetapi, mengapa Kapolri menempuh jalan kode etik? Mengapa tidak langsung pengusutan pidana terhadap ke-22 personel yang diduga melanggar etik itu? Bukankah Timsus sudah bisa melihat peranan mereka? Lagi pula, sebagian dari mereka yang 22 orang ini bukanlah personel yang sedang melakukan tugas investigasi sehingga mereka bisa dibawa ke ranah pelanggaran etik.
Seharusnya mereka bisa dipastikan ikut atau tidak dalam pembunuhan Brigadir J tanpa memasukkan mereka ke koridor pelanggaran etik. Misalnya, kalau Timsus melihat personel A ikut merusak TKP, apakah ini bukan perbuatan pidana? Apakah ini pelanggaran etik? Mengapa harus disebut pelanggaran etik?
Apakah personel atau para personel yang menghilangkan rekaman CCTV di rumah dinas Kadiv Propam hanya dianggap melanggar kede etik? Bukankah mereka telah merusak barang bukti?
Apakah personel lain yang mengatur pembesihan TKP dari bercak darah atau jejak-jejak lainnya masih dianggap melanggar kode etik? Bukankah ini pelanggaran pidana?
Atau, apakah personel B yang diketahui menyusun rekayasa kronologi pembunuhan tidak bisa langsung ditetapkan sebagai tersangka? Apakah perbuatan ini bukan tindak pidana? Masihkah disebut pelanggaran etik? Logika apa yang digunakan? Sangat jelas bahwa orang atau orang-orang yang melakukan rekayasa ini telah mengarang cerita yang bertujuan untuk menyembunyikan perbuatan pidana. Dia atau mereka telah berbohong. Masih disebut pelanggaran etik?
Sangat sulit dipahami. Sudah terang-benderang mereka itu melanggar pasal-pasal pidana, tetapi dibawa ke pelanggaran etik. Ini omong kosong. Tidak perlu menjadi ahli hukum pidana untuk melihat apakah para personel dimaksud melanggar etik atau melanggar pasal pidana.
Ada contoh sederhana tentang pelanggaran etik. Seorang penyelidik atau penyidik diketahui melakukan pertemuan atau tatap muka dengan orang-orang yang terlibat dalam suatu perkara. Ini baru cocok disebut melanggar etik. Atau, seorang polisi yang menyelidiki satu kasus, kemudian dia menjalin hubungan asmara dengan pihak yang berperkara atau keluarga yang berpakara. Inilah pelanggaran etik. Kedua contoh ini memang bukan tindak pidana.
Publik yang mengerti hukum sekalipun sulit memahami mengapa ke-22 personel yang diamankan itu tidak langsung ditersangkakan. Padahal, Timsus tahu peranan mereka dalam drama pembunuhan Brigadir J. Tapi, pimpinan Kepolisian masih berbasa-basi menyebut mereka semua tidak profesional dalam menangani TKP.
Kita wajar bertanya: apakah pendekatan kode etik ini bertujuan untuk menyediakan pintu keluar (exit door) bagi personel-personel tertentu diantara 22 yang diamankan itu? Kecurigaan ke arah ini tidak berlebihan. Karena, sekali lagi, ke-22 personel itu, dalam batasnya masing-masing, dipastikan punya singgungan atau irisan dengan peristiwa pembunuhan Brigadir J.
Kalau strategi penyidikan seperti ini (i.e. pendekatan kode etik) bertujuan untuk menenangkan suasana, mungkin bisa dipahami. Pimpinan Polri barangkali sengaja menempuh langkah bertahap terhadap para personel tersebut agar situasi tetap kondusif. Mereka disebut dulu sebagai terduga pelanggaran etik. Setelah itu, satu per satu akan dikenai pasal pidana.