Memecat Menteri, Menyelamatkan Negeri?
Lama tak muncul di publik, Mantan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (BI) Anwar Nasution tiba-tiba bersuara nyaring. Tidak tanggung-tanggung, bekas Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) ini minta Presiden Jokowi memecat Menteri Meuangan Sri Mulyani dan Menteri BUMN Rini Soemarno. Alasannya, kedua menteri itu tidak becus kerja.
Saran pedas Anwar ini terbilang tidak biasa bahkan langka. Pasalnya, jika yang melayangkan kritik adalah para ekonom yang selama ini mengkritisi kebijakan ekonomi Pemerintah, tentu bisa dipahami. Tapi, kali ini datang dari seorang Anwar, yang dalam rekam jejaknya nyaris tidak pernah berseberangan dengan Pemerintah. Satu hal lagi, Anwar adalah senior (dan mentor?) Sri Mulyani, khususnya di Universitas Indonesia (UI), almamater mereka.
“Menteri-menteri yang tidak kompeten ya menteri-menteri ekonomi itu. Apa yang mereka lakukan? Rini Soemarno, ada gak BUMN yang ekspor? Gak ada! Sri Mulyani tax ratio tadi 10%, apa yang dilakukan? Gak ada. Kalau saya (Presiden) saya pecat (mereka),”
ujarnya kepada awak media di Kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (8/9).
Sehubungan dengan itu, Anwar menyarankan agar Jokowi memecat beberapa menteri yang gagal. Langkah ini harus Presiden lakukan untuk membenahi perekonomian yang kian mengkhawatirkan. Dengan begitu baru ada kemungkinan Jokowi bakal terpilih lagi pada pemilu 2019. Sebaliknya, lanjut dia, kalau dibiarkan terus seperti sekarang sebentar lagi terjadi krisis. Jelas Jokowi akan hancur.
Alarm gawatnya perekonomian sebenarnya sudah meraung-raung dalam tiga tahun terkahir. Lihat saja, di era Presiden Jokowi ekonomi Indonesia berkutat di angka 5%. Padahal, sebelumnya pernah tumbuh di atas 6%. Di lapangan, rakyat merasakan beban hidup kian berat. Harga-harga yang terus melambung, daya beli merosot, dan lapangan kerja amat terbatas. Buat pengusaha, jebloknya daya beli berdampak pada transaksi penjualan yang ikut merosot.
Rontoknya rupiah hingga pernah di level Rp15.100/US$ jelas jadi pukulan berat bagi dunia usaha. Buat mereka yang punya utang dan sebagian (besar) biayanya dalam dolar, lunglainya rupiah, kondisi ini berakibat amat buruk. Akibat selisih kurs, utang tiba-tiba melambung. PLN, misalnya, gara-gara rupiah klenger terhadap dolar Amerika, dalam semeseter I-2018 saja rugi hingga Rp5,35 triliun.
Lampu kuning
Sinyal memburuknya ekonomi sebetulnya sudah disampaikan ekonom senior Rizal Ramli sejak jauh-jauh hari. RR begitu dia biasa disapa, sudah mengingatkan pemerintah, bahwa ekonomi Indonesia memasuki lampu kuning. Jika ekonomi terus dikelola dengan gaya neolib ala Bank Dunia seperti sekarang, bukan mustahil ekonomi kita jadi lampu merah.
“Indikator risiko makro ekonomi kita memburuk sebenarnya sudah tampak sejak dua tahun terakhir. Ini antara lain disebabkan impor yang ugal-ugalan. Akibatnya defisit transaksi berjalan atau Current Account Defisit (CAD) makin tinggi dan rupiah terus melemah,” ujar pria yang sejak lama bersuara nyaring menentang ekonomi mazhab neolib.
Mencermati data makro ekonomi resmi Pemerintah, angka-angkanya memang mengerikan. Neraca perdagangan kuartal II/2018 tercatat defisit US$1,02 miliar. Defisit transaksi berjalan di kuartal I-2018 tercatat US$5,5 miliar. Pada periode sama, neraca pembayaran/balance of payment (BOP) defisit US$3,9 miliar dan keseimbangan primer (primary balance) dalam proyeksi APBN 2018 defisit US$6,2 miliar. Kondisi inilah yang membuat rupiah terus merosot dan terjadi capital outflow.
RR yang pernah menjadi anggota Tim Panel Ahli Ekonomi Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) bersama dua pemenang hadiah nobel ekonomi lain ini, tidak menampik adanya faktor eksternal yang ikut menyebabkan rupiah rontok. Namun ibarat tubuh, lanjut dia, jika stamina bagus, walau virus flu bertaburan in sya Allah tidak akan tertular. Sebaliknya, kalau tubuh tidak sehat, orang di sebelah bersin saja, bisa langsung jadi sakit.
Sibuk ngeles dan laporan ABS
Sayangnya, para menteri ekonomi kita lebih suka menyalahkan faktor eksternal. Mereka juga kerjanya sibuk berkelit sambil memberi penjelasan yang tidak utuh, bahkan cenderung menyesatkan. Laporan-laporan asal bapak senang (ABS) inilah yang membuat Presiden tidak memahami persoalan secara benar. Akibatnya, jadi lelet dan salah mengambil keputusan.
Dengan kondisi babak-belur seperti ini saya kok jadi ragu. Kalau pun Jokowi mengikuti saran Anwar Nasution memecat Sri dan Rini juga beberapa menteri ekonomi lainnya, benarkah dia akan kembali terpilih pada 2019?
Pada akhirnya suara rakyat yang dihitung untuk menentukan kalah-menangnya kandidat. Nah, saat ini rakyat merasa beban hidup kian tak tertanggungkan. Ditambah utang janji-janji pada kampanye Pilpres sebelumnya yang teramat banyak belum ditepati, sungguh benar-benar bukan perkara mudah mendulang suara rakyat.
Kecuali, jika daya tahan menderita rakyat Indonesia memang yang luar biasa. Dan, satu lagi, kecuali bila rakyat Indonesia gampang lupa. Ini kecuali, lho… [*]
Jakarta, 11 September 2018
Edy Mulyadi
Direktur Program Centre for Economic and Democracy Studies (CEDeS)