Mempertanyakan Soal Lepas Jilbab dalam Tes KPK
Baru-baru ini ramai diperbincangkan terkait pertanyaan lepas jilbab dalam soal Tes Wawasan Kebangsaan (TWK). Sebagaimana seorang pegawai KPK perempuan mengaku ditanya perihal jilbab dalam tes alih menjadi aparatur sipil negara (ASN). Dalam pertanyaan yang menyinggung bersedia lepas jilbab, jika pegawai KPK perempuan itu enggan melepas jilbab, dianggap lebih mementingkan diri sendiri.
Dari itu, Anggota Komisi VIII DPR RI Lisda Hendrajoni mengkritik adanya pertanyaan ke pegawai KPK perempuan yang dinilai aneh itu. Menurutnya penggunaan jilbab oleh seorang perempuan harus didukung dengan negara.
Lisda pun mengatakan bahwa dari zaman dulu juga perempuan berkiprah dalam pembangunan, baik agama maupun negara, jadi zaman sekarang ini jangan urusan itu dipermasalahkan, (tapi) bagaimana kompetensi dari seorang perempuan ini juga bisa berkibar, punya kesempatan yang alhamdullilah sudah diberikan kesempatan yang sama oleh negara, oleh partai politik, jadi jangan mundur, jangan baju aja yang dimasalahin (Detik.com, 08/05/2021).
Selain itu, Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi Fakultas Hukum UGM (PUKAT UGM) Zaenur Rohman mengatakan Tes Wawasan Kebangsaan dengan pertanyaan bersediakah lepas jilbab sangat tidak layak dan sama sekali bukan cerminan Tes Wawasan Kebangsaan. Menurutnya pertanyaan itu sudah mencerminkan sempitnya wawasan kebangsaan si pembuat soal.
Zaenur juga mengatakan bahwa Tes Wawasan Kebangsaan KPK hanya merupakan upaya penjegalan terhadap pegawai-pegawai KPK yang berintegritas. Penjegalan sangat terlihat sejak awal dan hanya orang-orang tertentu yang tidak lolos. Mereka sejak awal memiliki rekam jejak yang sangat luar biasa di dalam pemberantasan korupsi, sering menangani kasus-kasus besar, dan seringkali memiliki pandangan yang berbeda di internal KPK bahkan dengan Firli Bahuri. Dia melihat dalam tes terdapat upaya untuk membenturkan pandangan keagamaan, pandangan pribadi, dan tugas institusi. Seakan-akan tes yang dibuat terkait kebhinnekaan tapi sebetulnya tidak (Kompas.com, 08/05/2021).
Sungguh miris pertanyaan soal lepas jilbab dalam tes tersebut, karena itu tak sejalan dengan hukum yang ada. Padahal dalam konstitusi pun telah dijamin terkait hal tersebut. Sebagaimana dalam pasal 29 Ayat (2), yakni “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaanya itu”.
Tak hanya itu, adanya pertanyaan terkait lepas jilbab tentu saja hal tersebut bagian dari bentuk pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Bukankah negeri ini begitu menjujung tinggi HAM? Lantas mengapa perkara melaksanakan suatu kewajiban dalam agama mesti dipermasalahkan? Hal itu jelas akan mencederai pelaksanaan HAM itu sendiri.
Di sisi lain, apakah memang pemakaian jilbab berkorelasi dengan tugas yang diemban dan fungsi sebagai pegawai KPK? Padahal memakai jilbab tidak ada hubungannya dengan profesionalitas pekerjaannya. Selain itu pula, bukankah kompetensi lebih utama daripada hanya mempersoalkan terkait pemakaian jilbab? Sungguh hal itu pun dapat menimbulkan tanda tanya besar bagi masyarakat, di mana perkara kewajiban dalam agama masih dipertanyakan dan seolah menganggu atau menghalangi pekerjaan.
Karenanya sangat disayangkan, jika negeri yang mayoritas muslim terbesar ini mempermasalahkan terkait penggunaan jilbab pada wanita muslimah dalam lingkungan kerja. Apalagi jika pilihan mengenakan jilbab di tempat kerja dianggap lebih mementingkan diri sendiri. Padahal seyogianya negeri ini dapat mendorong wanita muslimah untuk melaksakan syariat-Nya yang mana sebagai bentuk ketaatan pada Sang Pencipta.
Sementara dalam kacamata agama perkara yang jelas hukumnya seperti terkait kewajiban menutup aurat (mengenakan khimar dan jilbab) bagi wanita muslimah bukanlah sesuatu yang perlu ditawa-tawar, terlebih jika seseorang telah balig dan berakal sehat. Karena jawaban seorang mukmin apabila diseru oleh Allah, maka ucapan mereka adalah kami mendengar dan kami patuh bukan yang lain.
Hal itu sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an surah An-Nur ayat 31, “Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya… ”dan dalam surah Al-Ahzab ayat 59, “Wahai Nabi! Katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan istri-istri orang mukmin, ‘Hendaklah mereka menutupkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.’”
Dengan adanya dalil tersebut, masih layakkah sebagai hamba mendebat apa yang Allah perintahkan kepada hambanya? Padahal manusia sifatnya lemah dan terbatas, walau sejenius apapun manusia tidak akan mampu menandingi kebesaran Sang Khalik.
Dengan demikian, seyogianya perkara yang telah jelas kedudukannya di hadapan agama tak perlu dibenturkan dengan perkara lain, seperti dalam pekerjaan. Apalagi jika hal itu dapat menghalangi seseorang dalam rangka tunduk dan taat pada aturan Sang Pencipta. Karena sesungguhnya yang lebih tahu tentang aturan yang terbaik untuk manusia adalah yang menciptakan manusia, yakni Allah SWT. Wallahu a’lam bi ash-shawab.
Fitri Suryani, S.Pd., Guru dan Penulis Asal Konawe.