Memutus Gurita Korupsi di Indonesia
Tak ayal lagi, kekuasaan yang didapat hanya jalan untuk mengembalikan modal secepat mungkin, perkara mengurusi dan melayani rakyat itu soal nanti. Jangankan untuk menjadi kepala negara atau kepala daerah, bahkan untuk sekedar jadi kepala sekolah atau kepala dinas di suatu instansi pun sudah dipasang tarif yang fantastik. Masih ingatkan kasus Bupati Klaten non aktif Sri Hartini tahun lalu yang terbukti melakukan jual beli jabatan. Sungguh! Demokrasi menjadi jalan tol bagi tindak pidana korupsi.
Demokrasi memang tak mengenal baik-buruk, apalagi halal-haram. Satu-satunya standar baku yang dijadikan pedoman dalam berbuat adalah kepentingan dan manfaat. Jadi, tak masalah korupsi, suap-menyuap ketika berkuasa asal tak ketahuan, jika pun terciduk juga oleh lembaga anti rasuah, itu nasib saja yang salah. Karenanya, berharap korupsi tak ada dalam sistem Demokrasi ibarat pepatah mengatakan: bagai hendak menegakkan benang basah (muslimahnews.id).
Tak bisa dipungkiri, bahwa faktor penyebab korupsi saat ini sebenarnya berpangkal dari ideologi yang ada, yaitu demokrasi-kapitalis. Faktor ideologis inilah, beserta beberapa faktor lainnya, menjadi penyebab dan penyubur korupsi saat ini. Faktor ideologis tersebut terwujud dalam nilai-nilai yang menjadi anutan dalam masyarakat kini yang berkiblat kepada Barat, seperti nilai kebebasan dan hedonisme.
Demokrasi-kapitalis telah mengajarkan empat kebebasan yang sangat destruktif, yaitu kebebasan beragama (hurriyah al aqidah), kebebasan kepemilikan (hurriyah al tamalluk), kebebasan berpendapat (hurriyah al ra`yi), dan kebebasan berperilaku (al hurriyah al syakhshiyyah). Empat macam kebebasan inilah yang tumbuh subur dalam sistem demokrasi-kapitalis yang terbukti telah melahirkan berbagai kerusakan. Korupsi merupakan salah satu kerusakan akibat paham kebebasan kepemilikan (hurriyah al tamalluk) tersebut. (Abdul Qadim Zallum, Ad Dimuqrathiyah Nizham Kufr, 1990).
Banyak pihak berharap, akan ada perbaikan pengelolaan negara pada rezim yang baru termasuk pemberantasan kasus korupsi. Namun jika akar masalah korupsi adalah penerapan demokrasi, yang merupakan buah dari sistem kapitalis sekuler, maka selama sistem demokrasi dijadikan pijakan bagi presiden yang akan memimpin nanti, upaya pemberantasan korupsi pun setali tiga uang dengan kondisi saat ini. Pemberantasan korupsi mau tidak mau harus melalui perubahan sistem bukan hanya sekedar pergantian kepala negara.
Solusi tuntas pemberantasan korupsi hanya ada pada Islam
Korupsi dalam Syariah Islam disebut dengan perbuatan khianat, orangnya disebut khaa’in, termasuk di dalamnya adalah penggelapan uang yang diamanatkan atau dipercayakan kepada seseorang. Tindakan khaa'
in ini tidak termasuk definisi mencuri (sariqah) dalam Syariah Islam, sebab definisi mencuri (sariqah) adalah mengambil harta orang lain secara diam-diam (akhdzul maal ‘ala wajhil ikhtifaawal istitar). Sedang khianat ini bukan tindakan seseorang mengambil harta orang lain, tapi tindakan pengkhianatan yang dilakukan seseorang, yaitu menggelapkan harta yang memang diamanatkan kepada seseorang itu (Abdurrahman Al Maliki, Nizhamul Uqubat). Karena itu, sanksi (uqubat) untuk khaa
in (pelaku khianat) bukanlah hukum potong tangan bagi pencuri (qath’ul yad) sebagaimana diamanatkan dalam QS Al Ma`idah: 38, melainkan sanksi ta’zir, yaitu sanksi yang jenis dan kadarnya ditentukan oleh hakim.
Dalam sebuah hadis dari Jabir bin Abdullah, Rasulullah SAW bersabda : “Laysa ‘ala khaa`in wa laa ‘ala muntahib wa laa ‘ala mukhtalis qath’un.” (Tidak diterapkan hukum potong tangan bagi orang yang melakukan pengkhianatan [termasuk koruptor], orang yang merampas harta orang lain, dan penjambret).” (HR Abu Dawud). (Abdurrahman Al Maliki, Nizhamul Uqubat).
Bagaimana Islam mencegah aparatur negara melakukan tindakan korupsi?
Pertama, negara Khilafah memberikan gaji yang memadai kepada para aparaturnya, dengan begitu gaji mereka cukup untuk memenuhi kebutuhan primer, sekunder hingga tersier mereka.
Kedua, dalam pengangkatan aparaturnya, khilafah menetapkan syarat adil dan takwa sebagai ketentuan, selain syarat profesionalitas. Dengan begitu, mereka memiliki self control yang kuat.
Ketiga, untuk mengetahui, apakah mereka melakukan korupsi atau tidak, khilafah juga menetapkan kebijakan perhitungan kekayaan mereka sebelum dan setelah menjabat. Jika ada selisih yang tidak masuk akal, maka khilafah bisa merampasnya.
Keempat, khilafah juga menetapkan hukuman yang keras, bisa dalam bentuk publikasi, stigmatisasi, peringatan, penyitaan harta, pengasingan, cambuk hingga hukuman mati. Inilah cara yang dilakukan oleh Islam untuk mencegah korupsi (Abdurrahman Al Maliki, Nizhamul Uqubat).
Upaya penerapan syariah dalam masalah korupsi memang tidak mudah. Karena mengasumsikan perubahan sistem hukum yang sangat mendasar, yaitu menuju sistem hukum tunggal, yaitu Syariat Islam melalui sistem pemerintahan Khilafah Islam. Walaupun tidak mudah, tapi cara inilah yang patut diyakini akan memberantas korupsi hingga ke akar-akarnya. Tanpa cara ini, pemberantasan korupsi hanya akan ada di permukaan saja. Maka dari itu, tugas suci menerapkan Syariat Islam dalam institusi Khilafah Islam tersebut seharusnya tidak dipikul hanya oleh kelompok atau jamaah tertentu, melainkan menjadi tugas bersama seluruh komponen umat Islam, termasuk mahasiswa dan masyarakat pada umumnya.
Peran mahasiswa sebagai agen perubahan sangat strategis dalam menyampaikan akar permasalahan korupsi yang terjadi dan solusi tuntas dalam masalah tersebut. Termasuk menjelaskan ke tengah umat bahwa kegagalan demokrasi kapitalis sudah sangat nyata dan umat hanya bisa berharap pada syariat Islam sebagai solusi tunggal dalam penyelesaian masalah korupsi yang terjadi tidak hanya di negeri ini namun di seluruh negara di dunia. Wallahu a’lam.
[Dr. Retno Muninggar, S.Pi., ME.]