Memutus Kultus: Pelajaran Tauhid di Balik Pencopotan Khalid bin Walid
Yang lebih menarik adalah respon Khalid bin Walid terhadap pencopotannya tersebut. Secara status, ia melorot dari orang yang memiliki pangkat bintang empat menjadi hanya serdadu biasa tanpa bintang di pundaknya. Tapi ia tidak merasa Umar telah merendahkannya, lalu balik melawan dan menggugat Umar ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Karena Khalid paham tindakan Umar lebih maslahat bagi umat Islam, apalagi Umar adalah seorang sahabat yang terkenal bersih hatinya, kuat instingnya. Allah bahkan pernah menguatkan pendapat Umar dalam beberapa ayat Al-Qur’an seperti ayat tentang tawanan perang dan pengharaman khamar. Syaithan pun enggan mendekat ketika mengetahui Umar akan melewati sebuah jalan.
Ini membuktikan bahwa Umar bukanlah orang sembarangan. Setiap keputusan yang diambilnya pasti ada landasan syariat. Bukan atas tendensi pribadi atau kepentingan golongan. Khalid pun ridha. Inilah potret orang-orang terbaik dari masa terbaik. Maka pantaslah Allah memilih mereka mendampingi manusia terbaik.
Harapan vs Realita
Hari ini, banyak kita dapati orang merasa dirinyalah yang paling berjasa terhadap kemajuan pada suatu instansi atau lembaga. Ketika sebuah lembaga, besar atau kecil. Baik ianya istana megah atau rumah ibadah. Dianggap maju dari sudut pandang tertentu, maka pengelola lembaga tersebut membusungkan dada, merasa (kemajuan) ini karena usaha dirinya semata-mata.
Narasi “Kalau bukan karena saya tentu tidak akan semaju ini” dipropagandakan kemana-mana. Narasi ini diproduksi dan disebarkan kepada khalayak dengan tujuan agar mereka juga memiliki pemikiran yang sama. Premisnya: “Supaya kemajuan tetap terjaga, status quo harus dipertahankan, saya tidak boleh dilengserkan. Orang-orang yang berpandangan sebaliknya, yang melihat klaim kemajuan hanyalah keberhasilan semu, akan dituduh sebagai golongan iri hati yang sedang mengincar posisi. Setiap masukan yang datang akan ditebang. Kritik tidak dilirik. Saran jadi tertawaan. Apapun ceritanya, kondisi (yang diklaim) ideal ini harus dipertahankan.
Tidak ada urusan aqidah umat tergerus, karena itu bukanlah ukuran dan standar yang menjadi pertimbangan. Kinerja yang digembar-gemborkan sebagai tolok ukur keberhasilan juga bias. Karena yang menjadi basis hanya indikator fisik berupa monumen atau bangunan. Hal yang lebih penting, yaitu kelurusan aqidah, keikhlasan dan mental mau menerima kebenaran malah diabaikan.
Seyogyanya, individu-individu yang berkecimpung di sektor publik apalagi lembaga yang bersifat keagamaan seperti rumah ibadah (mesjid, madrasah, pesantren), membuka hatinya dan mencermati dalam-dalam kisah antara Khalid dan Umar bin Khattab. Bagaimana tanggung jawab Umar dalam menjaga kemunian akidah umat agar jangan sampai mengkultuskan Khalid sebagai dewa kemenangan. Bagaimana kemudian respon Khalid terhadap pencopotannya dari Jenderal kaum muslimin. Ia tidak bermanuver menggalang dukungan untuk melawan keputusan Umar.
Seperti banyak terjadi hari ini, dimana ketika seorang yang merasa sudah sangat berjasa dimakzulkan, maka dengan segala cara ia akan mempertahankan posisi empuk yang sudah dinikmatinya sekian lama. Dari cara halus sampai sangat kasar akan digunakan agar bisa bertahan.
Semoga harapan tidak menjadi angan-angan. Masa Khalid dan Umar memang sudah berlalu, tetapi mereka telah meninggalkan pelajaran penting tentang bagaimana menjaga akidah umat dan ikhlas ketika suatu amanah dicabut dari pengampunya.
Rahmat Firdaus, Wiraswastawan, Tinggal di Banda Aceh.