Menanamkan Tauhid sebagai Pondasi Karakter Anak

Setiap bangunan megah membutuhkan pondasi yang kokoh. Tanpa pondasi, semua keindahan arsitektur akan runtuh diterpa badai. Begitu pula anak-anak kita, secerdas apa pun mereka, seluas apa pun pengetahuan mereka, jika tidak memiliki pondasi tauhid, maka kehidupan mereka rapuh di hadapan godaan dunia.
Tauhid adalah inti pendidikan Islam. Allah berfirman dalam kisah Luqman yang penuh hikmah:
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَاِذْ قَالَ لُقْمٰنُ لِابْنِهٖ وَهُوَ يَعِظُهٗ يٰبُنَيَّ لَا تُشْرِكْ بِاللّٰهِ ۗ اِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيْمٌ
“(Ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, saat dia menasihatinya, “Wahai anakku, janganlah mempersekutukan Allah! Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) itu benar-benar kezaliman yang besar.” (QS. Luqman 31:13)
Nasihat pertama Luqman kepada anaknya bukanlah tentang rezeki, pekerjaan, atau keterampilan hidup, melainkan tentang tauhid. Sebab tauhid adalah kompas yang menuntun setiap langkah, cahaya yang menembus gelapnya zaman, dan benteng yang menjaga anak dari kehancuran spiritual.
Rasulullah ﷺ juga mendidik anak-anak sejak dini dengan kalimat tauhid. Dalam sebuah riwayat, beliau mengajarkan doa tidur sederhana kepada anak-anak: “Bismika Allahumma ahya wa bismika amut” (Dengan nama-Mu ya Allah aku hidup dan dengan nama-Mu aku mati). Kalimat singkat itu menanamkan kesadaran mendalam bahwa hidup dan mati sepenuhnya berada dalam genggaman Allah.
Namun, menanamkan tauhid pada anak tidak cukup dengan kata-kata. Ia harus ditumbuhkan melalui suasana rumah yang penuh dzikir, doa, dan keteladanan. Anak yang melihat orang tuanya bersyukur atas rezeki kecil, bersabar atas ujian, dan selalu mengaitkan segala hal dengan Allah akan menyerap nilai tauhid jauh lebih kuat daripada sekadar mendengar ceramah.
Di era digital, tantangan tauhid semakin besar. Anak-anak lebih mudah mengidolakan selebritas dunia maya daripada mengagungkan Sang Pencipta. Mereka lebih sering mengucapkan nama artis idola daripada menyebut nama Allah. Karena itu, orang tua perlu menghadirkan tauhid dalam bahasa yang relevan: mengaitkan sains dengan keagungan Allah, menjelaskan keindahan alam sebagai tanda kebesaran-Nya, dan menunjukkan bahwa semua teknologi hanyalah ciptaan yang lemah dibanding kehendak-Nya.
Menanamkan tauhid sejak dini berarti menanamkan akar yang dalam. Pohon kehidupan anak mungkin akan diterpa angin badai zaman, tetapi jika akarnya kuat, ia tidak akan tumbang. Anak yang berpondasi tauhid akan tumbuh menjadi pribadi yang jujur, amanah, berani, dan tegar, sebab hatinya selalu terikat dengan Allah.
Maka, tugas orang tua bukan sekadar memastikan anak sukses duniawi, tetapi memastikan mereka mengenal Tuhannya. Sebab sukses sejati bukanlah gelar atau harta, melainkan ketika anak-anak kita kelak berdiri di hadapan Allah dengan hati yang selamat (qalbun salim).[]
Fakhurrazi Al Kadrie, S.H.I, M.Pd., Penyuluh Agama Islam Kementerian Agama Kota Pontianak.