Menarik, Tafsir Hamka tentang Surat Al Ikhlas
Tidak Dia beranak, dan tidak Dia diperanakkan. (ayat 3)
Mustahil Dia beranak. Yang memerlukan anak hanyalah makhluk bernyawa yang menghendaki keturunan yang akan melanjutkan hidupnya. Seorang yang hidup di dunia ini merasa cemas kalau dia tidak mendapat anak keturunan. Karena dengan keturunan itu berarti hidupnya akan bersambung. Orang yang tidak beranak kalau mati, selesailah sejarahnya sampai disitu. Tetapi seseorang yang hidup lalu beranak, dan bersambung lagi dengan cucu, besarlah hatinya, karena meskipun di nanti mati, dia merasa ada yang menyambung sejarah hidupnya.
Oleh sebab itu maka Allah SWT mustahil memerlukan anak. Sebab Allah hidup terus, tidak pernah mati-mati. DahuluNya tidak berpemulaan, akhirNya tidak berkesudahan. Dia hidup terus dan kekal sehinggaa tidak memerlukan anak yang akan melanjutkan atau menyambung kekuasaanNya seperti layaknya seorang raja yang meninggalkan putra mahkota.
Dan Dia Allah itu, tidak pula diperanakkan. Tegasnya Dia tidak berbapak. Kalau Dia berbapak, teranglah bahwa si anak kemudian lahir ke dunia dari ayahnya, dan kemudian ayah itu pun mati. Si anak menyambung kuasa. Kalau orang Nasrani ada mengatakan bahwa Allah itu beranak dan anakNya ialah Isa al Masih, yang menurut kepercayaan mereka sejak dahulu, tidak berpemulaan dan tidak berkesudahan di antara ‘sang bapak’ dan ‘sang anak’, sehingga bersamaanlah wujud ‘bapak’ dan ‘anak’ itu. Jika demikian mengapa harus ada yang bernama bapak dan bernama anak? Dan kalau anak itu baru lahir kemudian, nyatalah posisi anak itu sebagai suatu kekuasaan atau ketuhanan yang tidak perlu, karena diakui bahwa ‘ si bapak’ kekal dan tidak mati-mati, tidak membutuhkan ‘anak’, sedangkan si anak yang diyakini itu muncul kemudian.
Dan tidak ada bagiNya yang setara, seorang jua pun. (ayat 4)
Keterangan, kalau diakui Dia beranak, tandanya Allah itu mengenal waktu tua. Dia memerlukan anak untuk mengalihkan kekuasaanNya nanti.
Kalau diakui diperanakkan, tandaNya Allah itu pada mulanya masih muda, yaitu sebelum “sang bapak’ mati. Kalau diakui bahwa Dia berbilang, ada bapak ada anak, tetapi kedudukannya sama, pikiran sehat yang mana juapun akan mengatakan bahwa keduanya sama-sama kurang kekuasaannya. Kalau ada dua yang setara, sekedudukan, sama tinggi pangkatnya, sama kekuasaannya atas alam, tidak ada pikiran sehat yang dapat menerima kalau dikatakan keduanya itu berkuasa mutlak. Dan kalau keduanya sama tarafnya, yang berarti sama-sama kurang kuasanya, yakni masing-masing mendapat separuh kuasa, maka tidak ada yang sempurna dari ketuhanan keduanya. Artinya bahwa itu bukanlah Allah. Itu masih alam, itu masih lemah.
Allah itu mutlak kuasaNya, tiada terbagi, tiada separuh seorang, tiada tandingan, tiada bandingan, tiada tandingan. Dan tidaka apula ada Tuhan yang nganggur, belum bertugas sebab bapaknya masih ada!
Itulah yang diterima oleh perasaan yang bersih murni. Itulah yang dirasakan oleh akal cerdas yang tulus. Kalau tidak demikian, kacaulah dia dana tidak bersih lagai. Itu sebabnya maka surah ini dinamai pula surah al Ikhlash, artinya sesuai dengan jiwa murni manusia, sesuai dengan logika, dengan berpikir teratur.
Tersebutlah dalam beberapa Riwayat yang dibawakan oleh ahli tafsir bahwa asal mula surah ini turun ialah karena orang musyrikin pernah meminta kepada Nabi,”shif lanaa rabbaka” (coba jelaskan kepada kami macam apa pula Tuhanmu itu, emaskah dia atau tembaga, atau loyangkah?)
Menurut hadits yang dirawikan oleh Timidzi dari Ubay bin Kaab, memang ada orang musyrikin meminta kepada Nabi supaya diuraikannya nasab (keturunan atau sejarah) Tuhannya itu. Maka datanglah surah yang tegas ini, berbicara tentang Allah.
Abu Suud berkata dalam tafsirnya, ”Diulangi nama Allah sampai dua kali dengan kejelasan bahwa Dia adalah Esa, Tunggal. Dia adalah tempat bergantung segala makhluk, supaya jelas bahwa yang tidak mempunyai kedua sifat pokok itu bukanlah Allah. Di ayat pertama ditegaskan Keesaannya untuk menjelaskan bersihNya Allah dari berbilang dan bersusun dan dengan menjelaskan bahwa Dialah pergantungan segala makhluk, jelaslah bahwa padaNya terkumpul segala sifat kesemprnaan. Dia tempat, tempat berlindung, bukan Dia yang mencari perlindungan kepada yang lain. Dia tetap ada dan kekal dalam kesempurnaanNya, tidak pernah kurang. Dengan penegasan tidak beranak, ditolaklah kepercayaan setengah manusia bahwa malaikat itu adalah anak Allah, atau Isa al Masih anak Allah. Tegasnya Allah tidak memiliki sesuatu yang dinamai anak, tidak ada sesuatupun yang mendekati sifatnya itu, untuk jadi jodoh atau teman hidup, yang dari pergaulan itu timbullah anak.” Sekian Abu Suud.