Mencintai Orang Selain Bukan Pasangannya
Ada sebuah ungkapan, al-hubbu la yumlaq (Cinta tidak dapat dikendalikan). Memang yang namanya sebuah perasaan itu tidak dapat dikontrol oleh diri sendiri, termasuk perasaan rasa suka dan cinta. Hal ini juga wajar, terlebih jika seorang laki-laki atau perempuan sudah menginjak usia remaja.
Pada hakikatnya hukum mencintai seseorang adalah mubah (diperbolehkan). Jika cintanya seorang laki-laki kepada perempuan timbul sebelum adanya akad pernikahan, maka dapat dikatakan cintanya adalah sebuah ujian. Tapi jika rasa cintanya sesudah halal itu adalah anugerah.
Namun, timbul sebuah pertanyaan, jika memang cinta itu tidak dapat dikendalikan, lantas bagaimana jika cintanya itu bukan kepada suami atau istrinya? Bagaimana jika seorang suami-istri mencintai selain daripada pasangannya? Sedangkan perasaan cinta itu tidak dapat dikuasai?
Perlu diketahui cinta itu akan menimbulkan dua kemungkinan. Antara cinta yang halal dan haram. Artinya sesuatu yang halal akan tampak jelas, begitupun sesuatu yang haram juga sudah jelas. Sebagaimana dalam sebuah hadis Nabi Muhammad Saw bersabda:
إِنَّ الْحَلاَلَ بَيِّنٌ وَإِنَّ الْحَرَامَ بَيِّنٌ، وَبَيْنَهُمَا أُمُوْرٌ مُشْتَبِهَاتٌ
“Sesungguhnya yang halal itu telah jelas dan yang haram pun telah jelas pula. Sedangkan di antaranya ada perkara syubhat (samar-samar).” (HR. Bukhari dan Muslim).
Menurut Syekh Yusuf al-Qaradhawi dalam bukunya yang berjudul “Hudal Islam: Fatawa Al-Muashirah”, hadis ini menjelaskan bahwa yang halal dan haram itu sudah terlihat jelas. Oleh karena itu, diantara seseuatu yang halal dan terang itu ialah suami mencintai istrinya, dan sebaliknya istrinya harus mencintai suaminya.
Adapun mencintai istri orang lain, termasuk keharaman yang sudah jelas (terang); dan dapat mengakibatkan keburukan bagi korban (istrinya sendiri). Dia akan terganggu pikiran dan jiwanya; dan tentu akan menimbulkan tekanan serta kegelisahan dalam rumah tangganya, yang mungkin akan berakhir pada kasus KDRT dan perceraian.
Hal ini sebagaimana dikatakan oleh Nabi Saw:
لَيسَ مِنَّا مَنْ خَبَّبَ (أي فَسَدَ) إِمْرَأَةً عَلَى زَوْجِهَا
“Bukan termasuk golongan kami, orang yang merusak hubungan seorang istri dengan suaminya.” (HR. Ibnu Majah).
Serupa itu pula, seorang istri mencintai laki-laki lain. Diperhatikannya, dipikirkannya, melebihi daripada memikirkan suaminya. Bahkan mendorong dia untuk berbuat hal-hal yang menyimpang dari agama, misalnya bergaul, memandang, memegang, dan mungkin meningkat pada keadaan yang lebih berbahaya, yaitu zina tentu ini perbuatan yang fahisyah (tercela), maka hal ini tidak diperbolehkan dan haram hukumnya. Karena hal yang demikian itu, akan membawa kehancuran, baik pada jiwa maupun rumah tangganya.
Cinta yang tidak halal hanya akan menjerumuskan kepada perzinaan, tentu hal ini termasuk kepada dosa besar, terutama bagi yang sudah berkeluarga. Maka, hukumannya pun lebih berat daripada hukuman yang masih perjaka atau gadis.
Lebih lanjut mengenai cinta tersebut, bahwa masalah ini memiliki pendahuluan, pendirian, perkembangan dan titik akhir. Adapun mengenai pendahuluan dan pendirian, dapat dikuasai dan dijauhi. Misalnya, pada mulanya melalui pandangan kemudian pembicaraan dan membuat pertemuan. Maka sebetulnya hal-hal ini dapat dihindari dengan mengendalikan hawa nafsunya.