Mendekat Saat Butuh, Menjerat Saat Berhasil
Perkembangan kontroversi dalam sistem demokrasi bukan lagi faktor yang aneh untuk didengar, bahkan itulah tujuan dari sistem ini untuk perampas dengan membenarkan berbagai cara untuk memenangkan hati rakyat. Kedudukan pemimpin rakyat menjadi kontes bagi politisi yang haus kekuasaan, konflik bahwa mereka perlu menyejahterakan rakyat untuk memperebutkan kursi. Sebenarnya, pada titik ini, pemimpin yang lahir dari sistem demokrasi tidak dimaksudkan untuk menuntut perhatian rakyat, melainkan menghasilkan kebijakan yang menindas dan mengecualikan hak-hak rakyat.
Pemilihan umum selamanya memprediksi kisah sukses penyelenggaraan demokrasi di Republik Indonesia. Namun itu adalah jenis ketamakan mereka. Perkembangan yang tidak lagi mengejutkan dalam sistem demokrasi yang dijejali lingkaran oligarki membuat para pejabat semakin kaya sedangkan rakyat semakin miskin.
Seperti yang kita ketahui bahwa Politik Demokrasi hanya berasaskan manfaat dan kepentingan, tidak ada yang benar-benar berjuang untuk rakyat. Suara rakyat hanya dibutuhkan saat pemilu, setelah itu para pemimpin seakan tutup telinga pura-pura tuli. Pemimpin yang lahir dari sistem Demokrasi mustahil akan menjadi pengayom rakyatnya, justru meninggalkan masalah lama tanpa solusi dan menimbulkan masalah baru. Buktinya saat kondisi ekonomi rakyat sulit, para elit makin gencar menonjolkan ambisinya bertarung di pilpres. Ini adalah bukti betapa kejamnya demokrasi yang menghalalkan segala cara demi kemenangan.
Dalam melawan kemungkaran, dibutuhkan kesadaran memahami politik dengan benar. Munculnya varian politik yang amat kuat pada dasarnya didorong oleh kelemahan atau bahkan keterpurukan politik umat Islam saat ini. Karena kondisi sedemikian ini, politik kemudian menjadi salah satu tugas penting umat Islam, untuk bisa bangkit dari kemunduran agar terhindar dari komoditas politik pragmatis.
Rasulullah Saw bersabda, “Dengarkan, apa kalian telah mendengar bahwa sepeninggalku nanti akan ada pemimpin-pemimpin, barangsiapa yang memasuki (berpihak kepada) mereka lalu membenarkan kedustaan mereka serta menolong kezaliman mereka, ia tidak termasuk golonganku dan tidak akan mendatangi telagaku. Barangsiapa tidak memasuki (berpihak kepada) mereka, tidak membantu kezaliman mereka dan tidak membenarkan kedustaan mereka, ia termasuk golonganku, aku termasuk golongannya dan ia akan mendatangi telagaku.” (HR Tirmidzi, al-Nasa’i, dan al-Hakim).
Wallahu A’lam.
Asma Sulistiawati, Pegiat Literasi.