PARENTING

Mendidik Anak untuk Dunia dan Akhirat, Bukan Pilih Salah Satu

Dalam hingar-bingar tuntutan dunia modern, banyak orang tua Muslim menghadapi dilema klasik: apakah harus mendidik anak-anak mereka untuk sukses di dunia atau fokus menyiapkan mereka untuk akhirat? Seolah-olah keduanya saling menegasikan.

Padahal, Islam justru mengajarkan keseimbangan antara keduanya mendidik anak untuk hidup sukses secara lahir dan batin, duniawi dan ukhrawi, tanpa dikorbankan salah satunya.

Islam bukan agama yang memusuhi dunia. Al-Qur’an secara gamblang menyebutkan: “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu di dunia…” (QS. Al-Qashash 28: 77)

Ayat ini menjadi prinsip dasar bahwa pendidikan dalam Islam harus menyiapkan anak menjadi insan yang berhasil di dunia dan akhirat. Dunia bukan tujuan, tapi juga bukan musuh. Ia adalah ladang amal bagi akhirat.

“Rabbanaa aatinaa fid-dunyaa hasanah, wa fil-aakhirati hasanah, wa qinaa ‘adzaaban-naar.” (QS. Al-Baqarah 2: 201)

Doa ini mengandung harapan akan kebaikan di dunia dan akhirat sekaligus bukan hanya satu sisi.

Dalam konteks dunia, mendidik anak berarti membekali mereka dengan pengetahuan, keterampilan, dan karakter yang dibutuhkan untuk bertahan dan berkembang di zaman mereka. Rasulullah SAW bersabda:

“Sesungguhnya Allah menyukai apabila seseorang dari kalian melakukan suatu pekerjaan, maka ia melakukannya dengan itqan (profesional, sungguh-sungguh).” (HR. Al-Baihaqi)

Etos kerja, kejujuran, tanggung jawab, dan semangat belajar adalah bagian dari adab Islam yang menunjang keberhasilan duniawi. Maka orang tua tidak salah ketika menyekolahkan anak ke lembaga terbaik, melatih mereka berpikir kritis, bahkan mendukung mereka menjadi profesional yang sukses.

Namun, kesuksesan ini bukan orientasi tunggal. Jika keberhasilan dunia tidak dibingkai dalam visi akhirat, anak akan kehilangan arah ketika dunia menipunya.

Pendidikan ukhrawi bukan hanya soal mengajarkan hafalan ayat atau mengirim anak ke pesantren. Ia adalah proses menanamkan kesadaran akan Tuhan, akhlak mulia, dan kepekaan nurani. Sebab itu, para ulama dahulu selalu memulai pendidikan dengan tazkiyah (penyucian jiwa), bukan sekadar transfer ilmu.

Imam Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumiddin menegaskan, orang tua yang lalai dalam pendidikan ruhani ibarat mengabaikan investasi akhirat anaknya. Ia berkata:

1 2Laman berikutnya

Artikel Terkait

Back to top button