Menegakkan Keadilan dalam Perspektif Al-Qur’an
Ayat ini secara eksplisit telah membuktikan bahwa dalam membuat keputusan harus adil, tidak condong kanan atau kiri.
At-Thabari (1994: 215) menjelaskan ayat ini bahwa setiap orang harus senantiasa tegak dalam menjalankan keadilan, sekalipun ada diri sendiri, ayah, ibu, karib-kerabat semua harus mendapatkan perlakuan yang adil, tanpa ada unsur nepotisme. Sementara itu, Ibnu Katsir melanjutkan mengenai larangan membuat keputusan sesuai hawa nafsur pribadi dan meninggalkan sikap adil. Jika seseorang membawa satu keputusan yang menyimpang, maka Allah selalu mengetahui perbuatannya (Katsir, 1999: 248).
Dapat disimpulkan ayat ini sebetulnya telah memberi ancaman yang serius kepada orang-orang yang tidak berlaku adil, terlebih jika didasari pada keberpihakannya kepada satu orang atau golongan.
Mengadili tanpa Kebencian. Dalam mengadili suatu perkara, seorang pemimpin tidak boleh mengadili berdasarkan kebencian. Kebencian terhadap salah satu pihak. Ataupun sebaliknya tidak memberikan prioritas kepada salah satu orang atau kelompok. Hal ini sebagaimana termaktub dalam surah Al-Maidah ayat 8.
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُوْنُوْا قَوَّامِيْنَ لِلّٰهِ شُهَدَاۤءَ بِالْقِسْطِۖ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَاٰنُ قَوْمٍ عَلٰٓى اَلَّا تَعْدِلُوْا ۗاِعْدِلُوْاۗ هُوَ اَقْرَبُ لِلتَّقْوٰىۖ وَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗاِنَّ اللّٰهَ خَبِيْرٌۢ بِمَا تَعْمَلُوْنَ
Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu penegak (kebenaran) karena Allah (dan) saksi-saksi (yang bertindak) dengan adil. Janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlakulah adil karena (adil) itu lebih dekat pada takwa. Bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Teliti terhadap apa yang kamu kerjakan. (QS. Al-Maidah [5]: 8).
Ayat ini memperlihatkan kepada kita semua agar tidak mengadili seseorang karena faktor benci, atau dekat. Selain itu, ayat ini menunjukkan adanya sebuah larangan untuk membenci seseorang atau suatu kelompok yang menyeretnya untuk tidak berlaku adil. Berlakulah adil dihadapan orang yang dicintai ataupun orang yang dibenci (Shihab, 2006: 321).
Jika dikorelasikan dengan saat ini, maka seyogianya pejabat negara harus adil, bijaksana dalam memberikan keputusan, tanpa adanya tendensi dari pihak lain.
Tidak Subjektif. Dalam memberikan kepuutusan suatu perkara, harus berdasarkan unsur obyektifitas atau kesepakatan bersama. Al-Qur’an sangat melarang untuk memutuskan perkara karena hawa nafsu, sebab hal itu merupakan kecenderungan diri, kemauan diri pribadi yang akan membahayakan. Sebagaimana larangan ini dijelaskan dalam surah Shad ayat 26.
يٰدَاوٗدُ اِنَّا جَعَلْنٰكَ خَلِيْفَةً فِى الْاَرْضِ فَاحْكُمْ بَيْنَ النَّاسِ بِالْحَقِّ وَلَا تَتَّبِعِ الْهَوٰى فَيُضِلَّكَ عَنْ سَبِيْلِ اللّٰهِ ۗاِنَّ الَّذِيْنَ يَضِلُّوْنَ عَنْ سَبِيْلِ اللّٰهِ لَهُمْ عَذَابٌ شَدِيْدٌ ۢبِمَا نَسُوْا يَوْمَ الْحِسَابِ ࣖ
(Allah berfirman,) “Wahai Daud, sesungguhnya Kami menjadikanmu khalifah (penguasa) di bumi. Maka, berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan hak dan janganlah mengikuti hawa nafsu karena akan menyesatkan engkau dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari Perhitungan. (QS. Shad [38]: 26).
Dalam Tafsir Kementerian Agama (2006: 172), ayat ini mengandung pesan moral kepada ulil amri (pemerintah) agar mereka menetapkan hukum dengan berpijak pada kebenaran yang ditunkan dari Allah SWT, serta tidak menyimpang dari aturan hukum yang berlaku agar tidak menyesatkan. Dengan demikian, ayat ini sebetulnya memberikan refleksi kepada para pemerintah agar tidak sembarangan dalam menentukan suatu kebijakan, terlebih kebijakan untuk kepentingan bersama.