Menelusuri Jejak Sejarah dan Keindahan Iluminasi Manuskrip Mushaf Enam di Museum Masjid Agung Demak

Manuskrip Al-Qur’an merupakan naskah kuno Al-Qur’an yang biasanya ditulis tangan dengan media kulit, kertas daluang dan media lain.
Manuskrip menjadi warisan penting dari Sejarah Islam di masa lampau yang kemudian tersimpan baik diberbagai museum, pesantern, perpustakaan, ahli waris maupun kolektor Pribadi.
Diantara banyaknya manuskrip yang tersimpan tersebut salah satunya adalah koleksi manuskrip Museum Masjid Agung Demak.
Museum Masjid Agung Demak memiliki 14 buah manuskrip mushaf kuno. Sebelas diantaranya dihiasi dengan iluminasi. Mushaf-mushaf ini tersimpan rapi di dalam lemari kaca dengan kondisi tertutu dan terkunci untuk menghindari sentuhan pengunjung yang dapat merusak kondisi mushaf yang rata-rata sudah tua dan lapuk.
Sejarah Penemuan Manuskrip Mushaf 6
Menurut Bapak Husni, salah satu petugas di Museum Masjid Agung Demak, Mushaf 6 ditemukan oleh takmir masjid di lantai dua Masjid Agung Demak. Ia juga menyampaikan bahwa banyaknya mushaf yang tersimpan di museum tersebut kemungkinan besar berkaitan dengan kuatnya pengaruh persebaran Islam di wilayah Demak.
Dalam keterangannya, Husni menjelaskan, “Awalnya, Raden Fattah mendapatkan perintah dari salah satu gurunya, yaitu Sunan Ampel, untuk mendirikan sebuah pesantren yang diberi nama Pesantren Glagah Wangi. Pada pembukaan gelombang pertama, jumlah santri mencapai sekitar 1.000 orang. Hal ini ditandai dengan peletakan prasasti batu pertama berupa Lawang Bledek, yaitu pintu Masjid Agung Demak yang sekarang telah diganti dengan bahan kuningan. Dari pesantren tersebut kemudian muncul cikal bakal pendirian Masjid Agung Demak. Pada generasi awal, masjid itu belum dikenal dengan nama Masjid Agung Demak, melainkan disebut Masjid Pesantren Glagah Wangi. Adapun nama ‘Glagah Wangi’ sendiri berasal dari banyaknya pohon glagah di sekitar area pesantren dan masjid yang, ketika ditebang, mengeluarkan aroma harum. Dari situlah nama ‘Glagah Wangi’ berasal.”
Husni menambahkan, alasan di balik banyaknya manuskrip Al-Qur’an di Masjid Agung Demak adalah karena para takmir beranggapan bahwa manuskrip-manuskrip tersebut merupakan Al-Qur’an yang ditulis tangan oleh para santri Pesantren Glagah Wangi pada masa lampau, sekaligus oleh para abdi.
Hal ini diperkuat dengan adanya catatan akhir pada salah satu mushaf yang ditulis menggunakan huruf Pegon dan berbunyi, “Ingkang gadhah Qur’an… Wijaya ingkang ngabdi Kanjeng Pengiran” (yang memiliki Al-Qur’an… Wijaya yang mengabdi kepada Kanjeng Pengiran).
Karakteristik Manuskrip Mushaf 6 di Museum Masjid Agung Demak

Mushaf Al-Qur’an dengan kode DK-MAD/MMAD.6/AQ/2023, yang dikenal sebagai Mushaf 6, merupakan salah satu koleksi manuskrip penting yang tersimpan di Museum Masjid Agung Demak. Manuskrip ini ditemukan dalam kondisi yang tidak sepenuhnya utuh, karena bagian awal mushaf telah hilang dan pinggiran halamannya tampak bergeripis akibat faktor usia. Meski demikian, keseluruhan teks masih dapat dibaca dengan jelas.
Teks mushaf diawali dengan potongan ayat dari Surah Al-Baqarah ayat 89 dan diakhiri dengan Surah An-Nas, menandakan bahwa sebagian awal mushaf telah hilang. Manuskrip ini diperkirakan memiliki ukuran fisik sekitar 32 cm × 19,5 cm, ditulis di atas kertas Eropa, dan dilengkapi dengan sampul berwarna coklat berbahan kulit yang masih dalam keadaan utuh. Ukuran area penulisan teks pada setiap halaman adalah sekitar 23 cm × 12 cm.
Secara keseluruhan, mushaf ini terdiri dari 610 halaman, dengan setiap halaman memuat 15 baris teks. Jumlah halaman per juz bervariasi antara 19 hingga 21 halaman, yang mencerminkan bahwa mushaf ini tidak mengikuti sistem standar pembagian Al-Qur’an pojok sebagaimana yang berlaku pada mushaf modern. Penomoran halaman dan ayat tidak ditemukan dalam mushaf ini; sebagai gantinya, ayat-ayat ditandai dengan simbol bulatan merah berisi titik hitam di tengahnya.
Dari segi estetika penulisan, teks Al-Qur’an ditulis menggunakan tinta hitam, sementara elemen penting seperti nama surah, awal juz, tanda waqaf, serta simbol tajwid ditulis menggunakan tinta merah, menunjukkan adanya variasi gaya penulisan yang memperindah mushaf.