Mengajarkan Akhlak Sejak Dini: Dari Lisan Hingga Perbuatan

Dalam pandangan Islam, akhlak bukan sekadar perhiasan hidup, melainkan inti dari keberagamaan itu sendiri. Nabi Muhammad ﷺ menegaskan tujuan diutusnya beliau adalah “untuk menyempurnakan akhlak yang mulia” (HR. Ahmad).
Maka, membicarakan pendidikan akhlak pada anak berarti membicarakan fondasi peradaban. Tanpa akhlak, ilmu hanya menjadi alat harta hanya menjadi godaan kekuasaan hanya menjadi tirani.
Anak-anak adalah peniru ulung. Mereka merekam setiap ucapan orang tua, bahkan sebelum mampu memahami maknanya. Lisan orang tua adalah madrasah pertama. Kata-kata lembut, doa yang terucap, salam yang dibiasakan semua akan melekat dalam memori anak. Sebaliknya, ucapan kasar, sumpah serapah, atau kebohongan akan menjadi racun yang mengendap di hati mereka.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَقُلْ لِّعِبَادِيْ يَقُوْلُوا الَّتِيْ هِيَ اَحْسَنُۗ اِنَّ الشَّيْطٰنَ يَنْزَغُ بَيْنَهُمْۗ اِنَّ الشَّيْطٰنَ كَانَ لِلْاِنْسَانِ عَدُوًّا مُّبِيْنًا
“Katakan kepada hamba-hamba-Ku supaya mereka mengucapkan perkataan yang lebih baik (dan benar). Sesungguhnya setan itu selalu menimbulkan perselisihan di antara mereka. Sesungguhnya setan adalah musuh yang nyata bagi manusia.” (QS. Al-Isra’: 53 )
Ucapan baik bukan hanya membangun hubungan sosial, tetapi juga mencetak karakter. Seorang anak yang terbiasa mendengar “terima kasih,” “tolong,” dan “maaf,” akan tumbuh dengan kehalusan budi yang menjadi modal dalam bermasyarakat.
Namun, akhlak tidak cukup berhenti di lisan. Ia harus nyata dalam tindakan. Anak-anak belajar lebih cepat dari teladan ketimbang nasihat. Rasulullah ﷺ adalah contoh hidup: beliau tidak hanya menyeru umatnya untuk jujur, tetapi juga dijuluki al-Amin (orang yang terpercaya) bahkan sebelum diangkat menjadi Nabi.
Ketika orang tua mengajarkan anaknya untuk disiplin, misalnya shalat tepat waktu, maka anak tidak cukup diberi perintah. Ia harus melihat bagaimana ayah dan ibunya sendiri menjaga shalat dengan khusyuk. Ketika diminta untuk berbagi, anak perlu menyaksikan orang tuanya sendiri berbagi, meski hanya dengan senyuman atau sepotong roti.
Imam al-Ghazali dalam Ihya’ Ulum al-Din menekankan bahwa pendidikan akhlak harus menanamkan kebiasaan (ta‘wid). Anak dibiasakan untuk berlaku baik hingga akhirnya akhlak menjadi bagian dari dirinya, bukan sekadar kepura-puraan.
Mengajarkan akhlak sejak dini sejatinya adalah bentuk kasih sayang orang tua. Sebab dunia ini penuh dengan jalan bercabang: ada yang menjerumuskan pada kehinaan, ada pula yang menuntun pada kemuliaan. Anak yang dibekali akhlak memiliki kompas moral yang akan menuntunnya meski kelak ia hidup jauh dari orang tua.
Rasulullah ﷺ bersabda: “Tidak ada pemberian seorang ayah kepada anaknya yang lebih utama daripada akhlak yang baik.” (HR. Tirmidzi). Maka, mengajarkan akhlak bukan sekadar memenuhi kewajiban sosial, melainkan warisan cinta yang lebih abadi daripada harta.
Bayangkan sebuah masyarakat di mana anak-anak tumbuh dengan kejujuran, sopan santun, empati, dan rasa tanggung jawab. Betapa tenteram dan harmonis kehidupan akan terjalin. Pendidikan akhlak sejak dini adalah investasi peradaban. Ia menyalakan cahaya yang akan menerangi jalan panjang kehidupan manusia.
Sebagai orang tua, guru, dan masyarakat, kita tidak bisa menunda. Saat anak-anak masih bening, saat hati mereka masih mudah dibentuk, di sanalah waktu paling tepat untuk menanamkan akhlak. Lisan yang baik dan perbuatan yang mulia akan menjadi benih yang kelak berbuah dalam kehidupan mereka.
Karena itu, mari kita mulai dari diri sendiri. Jika kita ingin anak-anak jujur, kita pun harus jujur. Jika kita ingin mereka sabar, kita pun harus sabar. Sebab anak-anak tidak hanya mendengar apa yang kita katakan, tetapi juga melihat siapa kita sebenarnya.[]
Fakhurrazi Al Kadrie S.H.I., M.Pd., Penyuluh Agama Islam Kementerian Agama Kota Pontianak.