Mengapa Sehat Itu Jadi Mahal?
Setiap orang mendambakan layanan kesehatan berkualitas dan terjangkau. Ini adalah sesuatu yang wajar. Namun, tampaknya hal itu akan sulit diwujudkan. Mengingat betapa abainya pemerintah dalam mengurusi layanan kesehatan.
Pemerintah bahkan berencana menaikan tarif iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan hingga 100 persen. Tanpa mempertimbangkan penderitaan rakyat dan penolakan publik. Keputusan itupun telah ditetapkan dan mulai diberlakukan 1 Januari 2020.
Abainya pemerintah terhadap penderitaan rakyat juga terpampang jelas dari berbagai komentar pejabat yang minim empati. Sebut saja Moeldoko. Kepala Staf Kepresidenan ini justru meminta masyarakat memahami rencana pemerintah manaikkan iuran BPJS Kesehatan. Menurutnya, masyarakat perlu memahami bahwa sehat itu mahal dan perlu perjuangan.
“Kalau (masyarakat beranggapan) sehat itu murah nanti orang menjadi sangat manja, gitu. Tidak mau mendidik dirinya untuk menjadi sehat. Sehat itu perlu perjuangan, perlu olahraga, perlu mengurangi rokok,” ujarnya. (cnnindonesia.com/04/09/2019)
Memang benar sehat itu perlu dijaga. Namun, apakah rakyat akan ramai-ramai mengabaikan kesehatannya dan berharap jatuh sakit ketika biaya kesehatan itu murah? Sungguh, itu hanyalah pernyataan tak bertanggungjawab dan miskin empati.
Pernyataan lainnya muncul dari Menteri Keuangan Sri Mulyani. Ia menegaskan kenaikan iuran BPJS Kesehatan tidak akan menyusahkan masyarakat miskin. Justru pemerintah selalu berupaya membantu masyarakat kelompok kecil. Hal ini disampaikan Sri Mulyani di depan mahasiswa dan dosen di Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia, Depok, Senin (9/9/2019). (cnbcindonesia.com/09/09/2019)
Pernyataan-pernyataan tak patut yang keluar dari mulut pejabat pemerintahan itu semakin menampakkan kebusukan sistem sekuler. Mereka tak hanya abai terhadap urusan rakyat, tapi juga miskin nurani. Mereka sama sekali tak memahami kondisi rakyat. Bagaimana bisa mengatakan bahwa kenaikan iuran BPJS Kesehatan tidak menyusahkan rakyat miskin? Sementara masih banyak rakyat yang — untuk mencari sesuap nasi pun – kesulitan.
Lantas, benarkah sehat itu mahal? Tak bisakah menjadikan sehat itu murah? Mengapa?
Slogan “sehat itu mahal” sesungguhnya terlahir dari sistem kapitalisme sekuler. Sistem ini sangat buruk dalam mengatur urusan rakyat. Dalam sistem kapitalisme, penguasa memposisikan diri layaknya pedagang. Maka tak heran jika setiap kebijakan yang dibuat selalu dilihat untung-rugi dari sudut pandang penguasa saja. Tak peduli, apakah rakyat diuntungkan atau justru dirugikan atas kebijakan tersebut.
Demikian pula dalam mengurusi layanan kesehatan. Pemerintah tak mau ambil pusing dan menyerahkan urusan kesehatan pada pihak swasta. Alhasil, biaya kesehatan menjadi mahal. Padahal layanan kesehatan merupakan salah satu kebutuhan pokok rakyat yang wajib ditanggung oleh negara.
Tak hanya mahal, layanan kesehatan yang buruk pun kerap dikeluhkan rakyat. Banyak nyawa melayang akibat malapraktik. Tak sedikit pasien meninggal akibat berbelit-belitnya prosedur yang harus dilalui. Masih ingatkah kasus bayi Debora? Itu hanya satu dari sekian banyaknya kasus layanan kesehatan yang buruk.
Sakit merupakan musibah yang menimpa manusia di luar kehedaknya. Orang sakit, baik kaya maupun miskin, berarti orang yang sedang tertimpa musibah dan mengalami kesulitan. Ia membutuhkan uluran tangan dan pertolongan.
Pemerintah seharusnya menjadi pihak yang berada di garda terdepan untuk mengatasi penderitaan rakyatnya. Maka, keputusan pemerintah membebani rakyat dengan biaya kesehatan yang mahal sangat tidak berperikemanusiaan.
Lain kapitalisme, lain pula Islam. Sistem Islam adalah satu-satunya sistem memperhatikan aspek kemanusiaan. Dalam Islam kesehatan merupakan kebutuhan pokok publik, bukan jasa untuk dikomersialkan. Rasulullah saw. bersabda yang artinya, “Siapa saja yang ketika memasuki pagi hari mendapati keadaan aman kelompoknya, sehat badannya, memiliki bahan makanan untuk hari itu, maka seolah-olah dunia telah menjadi miliknya“. (HR. Bukhari).
Artinya, tidak dibenarkan bahkan haram pemerintah memiliki program yang bertujuan mengomersilkan pelayanan kesehatan –dalam hal ini program JKN termasuk keberadaan badan penyelenggaranya, BPJS Kesehatan.
Islam hanya mengenal prinsip pembiayaan kesehatan berbasis baitul mal yang bersifat mutlak. Sumber-sumber pemasukan baitul dan pintu-pintu pengeluarannya sepenuhnya berlandaskan ketentuan Allah Swt, agar negara memiliki finansial memadai untuk pelaksanaan berbagai fungsi pentingnya, termasuk pembiayaan kesehatan antidefisit. Baik termaktub dalam Alquran dan Sunah, maupun apa yang ditunjukkan oleh keduanya berupa ijma’ sahabat dan qiyas.
Jadi, mengapa sehat itu mahal? Karena sistem yang diterapkan saat ini adalah sistem kapitalisme neoliberal. Maka, sudah saatnya kita meninggalkan sistem yang bathil ini dan kembali pada sistem Islam yang bersumber dari Allah Swt. Sang Pencipta dan Pengatur alam semesta, manusia, dan kehidupan ini. Karena hanya sistem Islam-lah yang mampu mewujudkan “sehat itu murah”. Wallahu a’lam.
Wity
Anggota Komunitas Revowriter Purwakarta