Mengenal Hamas, Pejuang Islam Penguasa Jalur Gaza
Hamas meraih kekuasaan dan pengaruh ketika Israel membungkam Otorita Palestina, yang dituduh menyeponsori serangan-serangan mematikan.
Hamas lantas mengelola sejumlah klinik dan sekolah bagi warga Palestina yang merasa dikecewakan oleh korupnya Otoritas Palestina yang didominasi faksi Fatah.
Banyak warga Palestina menyambut gelombang serangan istisyhad Hamas pada awal intifada kedua. Mereka memandang operasi “martir” sebagai pembalasan atas pendudukan Israel di Tepi Barat—wilayah yang diinginkan rakyat Palestina sebagai bagian dari negara mereka.
Pada Maret dan April 2004, pemimpin spiritual Hamas, Syekh Ahmed Yassin dan penerusnya, Abdul Aziz al-Rantissi, dibunuh melalui serangan rudal di Gaza.
Di dalam wilayah Palestina, perseteruan antara Hamas dan Fatah merebak setelah pemimpin Fatah, Yasser Arafat, meninggal dunia pada November tahun tersebut.
Ketika Hamas menang telak dalam pemilihan umum legislatif pada 2006, perseteruan itu semakin nyata. Hamas menolak terlibat dalam kesepakatan damai Palestina-Israel sebelumnya, menolak mengakui legitimasi Israel, dan menepis permintaan untuk mengakhiri aksi kekerasan.
Piagam 1988
Piagam Hamas menyatakan Palestina—termasuk negara Israel saat ini—sebagai wilayah Islam serta menolak kesepakatan damai dengan negara Yahudi.
Dokumen itu juga berulang kali menyerang orang-orang Yahudi sebagai sebuah bangsa, sehingga mendatangkan tuduhan bahwa gerakan Hamas anti-Semitik.
Pada 2017, Hamas merilis dokumen kebijakan terbaru yang menghaluskan sejumlah sikap terdahulu dan menggunakan bahasa yang terukur.
Dalam dokumen itu, Hamas tetap tidak mengakui Israel, namun menerima secara formal pembentukan negara Palestina secara interim di Gaza, Tepi Barat, dan Yerusalem Timur—yang dikenal sebagai garis sebelum 1967.
Dokumen itu pun menekankan bahwa perjuangan Hamas bukan terhadap Yahudi, tapi terhadap “agresor Zionis yang melakukan pendudukan”.