Menggali Makna Revolusi Akhlak
Istilah ini populer pasca kepulangan Habib Rizieq dari Mekkah. Jargon yang juga membuat sebagian kalang kabut. Pasalnya, atensi masyarakat menyambut baik tersebarnya jargon tersebut.
Kalau kita telisik, sebenarnya istilah itu telah lama lahir. Tepatnya, saat Pilpres 2014. Sebabnya, pasangan Jokowi-Kalla di dalam janji politiknya membuat program revolusi mental.
Kontan saja, ini menjadi sororan aktivis muslim. Revolusi mental mengingatkan pada gerakan terselubung paham kiri yang coba menguasai negeri. Gerakan yang telah menorehkan darah dan sejarah kelam di bumi nusantara.
Ada kekhawatiran. Puncaknya, Habib Rizieq dalam banyak kesempatan memperkenalkan revolusi akhlak. Sebuah gerakan perubahan mendasar dan cepat untuk memperbaiki moral bangsa yang jauh dari nilai ideal.
Hanya kala itu, belum menemukan momentum. Perjuangan menemukan kenyataan di 2016, saat dan membenarkan Ahok telah menghina ayat suci: Al-maidah 51. Ujungnya, pukulan balik mengena kepada Habib Rizieq dengan dituduhkan hukum yang “berkemampuan” mengada-ada.
Kalau begitu, apa makna yang diharapkan dari istilah itu?
Tak lain kebangkitan Islam yang tengah jadi buih di tengah lautan yang penuh ombak kerusakan moral. Islam yang sejatinya damai dan perdamaian disangkakan dengan stigma negatif. Teroris pun disematkan pada inti ajaran Islam.
Yang jadi masalah, banyak kalangan memandang curiga dengan istilah kebangkitan Islam. Mereka menuduh dengan aneka label yang tak perlu. Kadang berlebihan. Keluar dari konteks persaudaraan sesama anak bangsa.
Lalu kebangkitan itu esensinya diambil dari Al-Qur’an. Seperti apa yang dikatakan Sir Muhammad Iqbal di bukunya, sejatinya Al-Qur’an itu sebuah ajaran ajaran bukan sekadar teori belaka.