Menghidupkan Budaya Islam atau Budaya Penjajah?

Kita yang hidup di Tanah Air yang hampir 90 persen Muslim ini mengalami keanehan. Kenapa ya penduduk Muslimnya mayoritas tapi yang terkenal di dunia internasional kok bukan budaya Islam? Kok bukan peradaban Islam?
Indonesia terkenal dengan Candi Prambanan dan Candi Borobudur serta Pulau Balinya. Ketiganya tidak mencerminkan peradaban dan budaya Islam. Kita tentu bertanya ini kebetulan atau merupakan settingan (by planning)?
Bila kita dalami sejarah, ternyata semua ini adalah rekayasa penjajah Belanda. Belanda tidak ingin agama Islam -budayanya- mewarnai tanah air. Penjajah ini merasakan pahitnya bagaimana Islam menjadi motivator bagi rakyat Indonesia melawannya. Islam menjadi senjata terbesar bagi rakyat untuk mengusir penjajah Belanda dari tanah air. Dengan Islam, rakyat tidak takut kehilangan harta bahkan nyawa ketika melawan penjajah Belanda. Kita mengetahui bahwa Belanda di samping rakus terhadap kekayaan alam di tanah air, juga agresif menyebarkan misi Kristennya.
Maka Belanda dengan segala cara -baik lewat pendidikan, budaya, militer- terus menerus mengeliminir Islam di tanah air. Intelektualnya menulis buku-buku yang memisahkan Islam dan Jawa, menganggap Islam di Nusantara seperti cat atau pelitur di kayu (tidak mengakar), mengampanyekan politik Islam berbahaya, memisahkan Islam sebagai ritual dan kemasyarakatan/politik dan lain-lain.
Penemuan Candi Borobudur bermula dari kedatangan Thomas Stamford Raffles ke Pulau Jawa pada Abad ke-19. Raffles (1781-1826) menerima mandat dari Kerajaan Inggris menjadi Gubernur Hindia Belanda pada tahun 1811-1816. Candi Borobudur saat itu sudah terkubur dan kemudian akhirnya dibangun kembali oleh pemerintah Belanda. Begitu juga Prambanan.
Sehingga seorang sejarawan Islam bertanya, adakah masjid atau peradaban Islam yang terkubur digali dan dibangun kembali? Jawabannya sampai saat ini ‘kita tidak menemukan’ di tanah air. Tapi itulah cara Belanda untuk mengubur kehebatan Islam di tanah air. Yakni dengan menampilkan peradaban lain yang bukan peradaban Islam.
Padahal bila ditilik sejarah, pengaruh Islam yang datang dengan damai di Nusantara ini sangat mendalam dan mengakar. Sejak abad ke-7 Islam telah menapak di tanah air dan kemudian muncul Kerajaan Islam pertama di Samudra Pasai, Aceh pada abad ke-13. Kemudian berikutnya nanti muncul Kerajaan Demak, Kerajaan Ternate, Kerajaan Banten, Kerajaan Banjar, Kerajaan Kutai dan lain-lain.
Maka jangan heran ketika Belanda mulai menjajah Indonesia pada abad ke-16, kerajaan-kerajaan Islam dan rakyat yang saat itu mayoritas Islam melawan Belanda dengan gagah berani. Meski akhirnya Belanda kabur dari tanah air, penjajah ini masih meninggalkan sistem hukum, sistem pendidikan, sistem ekonomi, hingga sistem budaya. Baik langsung lewat tangan mereka maupun kaki tangan mereka di Indonesia.
Yang menarik Belanda gagal membudayakan Bahasa Belanda menjadi Bahasa di tanah air. Para ulama saat itu, termasuk Agus Salim berjuang keras agar Bahasa Indonesia menggantikan Bahasa Belanda baik dalam dunia pendidikan, media massa maupun pergaulan sehari-hari. Prestasi Indonesia ini lebih baik daripada Malaysia yang susah melepaskan bahasa penjajahnya, bahasa Inggris.
Bila dicermati candi Borobudur dan candi Prambanan itu biasa saja. Ukir-ukirannya memang indah. Tapi bandingkan dengan keindahan arsitek dan tata letak kerajaan-kerajaan Islam di tanah air. Pusat kerajaan biasanya didampingi masjid dan alun-alun. Juga ada taman dan air di sana. Tata letak seperti itu tidak ada dalam bangunan candi saat itu.
Di luar negeri, keindahan yang menakjubkan ada pada Kerajaan Islam di Andalusia. Dimana keindahan arsiteknya dikelilingi taman dan air mancur. Sebuah perpaduan yang tidak ada dalam peradaban-peradaban di luar Islam saat itu. Perpaduan antara bangunan, taman dan air itu menurut para arsitek Muslim diilhami oleh ayat-ayat Al-Qur’an tentang Surga (Jannah).
Tapi bagi para intelektual Islam (ulama), bagaimana pun keindahan seni pada bangunan, kalah indah dengan warisan ilmu. Keindahan bangunan hanya menakjubkan panca Indera belaka, sedangkan keindahan ilmu bisa mengubah perilaku atau membentuk pribadi seseorang. Keindahan ilmu bisa mengubah manusia yang berakhlak buruk menjadi berakhlak mulia.