Menguji Kementerian Haji Pertama

Selain itu, kementerian baru ini mesti berani mengubah pola bimbingan. Tenaga pembimbing harus tersertifikasi, dengan modul yang relevan dan simulasi yang serius. Jamaah lanjut usia perlu mendapatkan prioritas pendampingan khusus.
Dalam urusan diplomasi, Gus Irfan dan Dahnil dituntut membangun kemitraan strategis dengan Kementerian Haji Arab Saudi. Negosiasi tak boleh hanya tentang kuota, tapi juga standar layanan kesehatan, transportasi, dan pemondokan.
Ujian Politik
Kementerian Haji dan Umrah lahir di tengah ekspektasi besar publik. Tak sedikit pihak yang sinis, menyebut kementerian ini hanya akomodasi politik bagi orang dekat istana. Tapi ukuran sesungguhnya adalah kinerja. Jika Gus Irfan dan Dahnil mampu merombak tata kelola haji, skeptisisme akan berganti apresiasi. Sebaliknya, jika masalah klasik tetap berulang, kementerian ini berisiko jadi “kementerian seremonial” yang memboroskan anggaran.
Penutup
Haji adalah rukun Islam kelima, ibadah yang menyedot emosi dan biaya besar umat Muslim Indonesia. Setiap tahun, lebih dari 200 ribu jamaah berangkat dengan harapan suci, tapi sering kembali dengan keluhan panjang. Kini, dengan berdirinya Kementerian Haji dan Umrah, bola ada di tangan Gus Irfan dan Dahnil Anzar.
Mereka dituntut bukan hanya jadi manajer birokrasi, tetapi juga pelayan umat yang mengawal niat ibadah hingga tuntas. Jika berhasil, kementerian ini akan tercatat sebagai reformasi penting dalam sejarah pelayanan haji Indonesia. Jika gagal, tatapan jutaan calon jamaah yang menunggu giliran akan menjadi pengingat pahit: rahasia di balik mata mereka adalah kecewa yang tak kunjung usai.[]
Muhibbullah Azfa Manik, Dosen Universitas Bung Hatta, Padang, Sumbar.