QUR'AN-HADITS

Menikah, Siapa Takut?

Selain itu, orang tua atau wali dilarang untuk menghalangi anak untuk menikah tatkala sang anak sudah siap secara fisik dan psikis, seperti tidak memberikan restu diluar keperluan syariat atau membiarkan anak berduaan bukan mahram dan tidak segera menikahkan keduanya. Tak hanya itu para orang tua atau wali diharapkan mampu membantu secara finansial dan bantuan apapun kepada anaknya yang akan melangsungkan pernikahan. Bimbingan para orang tua atau wali tidak lepas semata karena anak sudah menikah.

Selain itu anjuran untuk menikah pada ayat ini ditujukan kepada orang yang masih sendiri yaitu orang yang bebas dari suami atau istri, yang terpenting mereka mampu memberi mahar dan nafkah, sebagaimana lafadz الْاَيَامٰى مِنْكُمْ “orang yang membujang diantara kalian”. Pakar bahasa Arab mengatakan bahwa lafadz الْاَيَامٰى مِنْكُمْ merujuk pada kata dasar الاَيَّمُ yang berarti perempuan yang tidak bersuami baik dia perawan ataupun janda.

Selain anjuran menikahkan seseorang yang masih membujang, ayat ini juga menjelaskan bahwa dianjurkan juga menikahi hamba sahaya yang bertaqwa. Dan seandainya orang tersebut fakir akan Allah berikan kekayaan dalam bentuk apapun termasuk kaya akan harta, kaya akan jiwa. Karena Allah dzat yang maha kaya dan luas akan kuasanya.

Di akhir ayat Allah menekankan dengan lafadz يُغْنِهِمُ اللّٰهُ مِنْ فَضْلِهٖۗ bahwa Allah yang akan memapukan seseorang yang menikah karena menghindari zina dan menjaga kesuciannya. Ayat ini juga dapat membantah kebiasaan orang awam yang memisahkan suami istri hanya sebab harta.

Dengan demikian seyogyanya kita sebagai umat muslim yang beriman, mampu mengambil manfaat dari ayat ini seperti tidak memandang status seseorang tatkala hendak menikah atau menikahkan, tidak fokus pada harta calon mempelai atau calon menantu, dan yakin bahwasanya Allah yang Maha Pemberi Rezeki. Rezeki setiap manusia sudah ada takarannya dan tidak akan tertukar. Tidak pantas sebagai seorang muslim untuk meragukan melaksanakan pernikahan hanya sebab materi yang belum banyak.

Pernikahan bukan ajang berlomba-lomba siapa yang paling mewah atau acara yang paling indah dengan dalih acara tersebut tak akan terulang dan terjadi hanya sekali dalam hidup. Namun, sebagai seorang muslim tentu kita mampu memahami bahwa hakikat pernikahan ada pada ikatan antara dua orang, tanggung jawab suami terhadap istri dan anak secara zahir maupun batin. Tak sedikit orang yang mampu secara harta namun tidak mampu membimbing istri dan anak ke jalan yang seharusnya.

Namun bukan lantas kita bisa menikah dengan siapapun tanpa menelusuri bagaimana latar belakangnya. Kita tetap diperbolehkan untuk meninjau dan mempelajari latar belakang calon suami atau istri yang berguna sebagai bentuk pertimbangan kehidupan selanjutnya. Saleh, rupa, nasab, dan harta juga hal yang diajarkan Rasul untuk dipertimbangkan dalam pernikahan. Namun ayat ini menunjukkan kita tidak boleh lantas meremehkan seseorang melalui harta yang tidak seberapa, karena Allah yang Maha Pemberi Rezeki.

Surah An-Nur ayat 32 ini memang menekankan pada kecukupan yang Allah janjikan bagi hamba-Nya yang menjaga kesuciannya melalui pernikahan. Namun, kesiapan pernikahan tidak melulu soal kesiapan finansial tetapi kesiapan secara psikis, seperti kedewasaan seseorang, kemampuan pengolahan emosi, dan lain-lain.

Dengan demikian seseorang mampu meninjau kesiapan diri dalam berbagai aspek, pernikahan akan tetap menjadi momen yang membahagiakan bagaimanapun bentuk dan kondisi acaranya. Karena seseorang yang siap secara mental dan psikis, mampu bertanggung jawab dunia dan akhirat, tidak akan takut kekurangan harta sebab dia yakin dengan firman Allah Jika mereka miskin, Allah akan memberi kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya. Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.(QS An Nur: 32). Wallahu A’lam. []

Imam Khoiri Ichwanuddin, Mahasiswa Universitas PTIQ Jakarta.

Laman sebelumnya 1 2

Artikel Terkait

Back to top button