Menjadi Aktivis
Menjadi aktivis adalah dambaan hampir setiap mahasiswa. Aktif di kegiatan-kegiatan kampus dan masyarakat, selain aktif juga mengikuti kuliah. Pada tahun 80-an atau sebelumnya, seorang aktivis biasanya tercecer kuliahnya. Kuliah tujuh tahun atau sepuluh tahun untuk sarjana muda, terbiasa bagi mereka.
Menjadi aktivis memang enak. Selain banyak kegiatan, juga banyak kenal orang. Dengan banyak kegiatan, maka hidup menjadi penuh warna. Tidak melulu kuliah di kampus. Dengan banyak kenal orang, maka lebih mengerti kehidupan.
Biasanya dengan menjadi aktivis, maka kehidupan selanjutnya setelah mahasiswa menjadi lebih bijak. Keluarga pun dirawat dengan seksama. Anak-anak dididik dengan penuh perhatian. Masyarakat pun dibina dengan seksama.
Tapi tidak selamanya mantan aktivis mahasiswa menjadi orang baik setelah mentas jadi kampus. Ada juga diantara mereka yang menjadi koruptor, bermewah-mewah dan menjadi egois di masyarakat. Semuanya tergantung dari kepribadian dan lingkungan yang membentuk mantan mahasiswa itu.
Yang paling menguntungkan adalah menjadi aktivis dakwah mahasiswa. Jadi bukan semata-mata aktivis, tapi aktivis dakwah. Sehari-hari di kampus yang dipikirkannya hanya bagaimana agar dakwah makin marak di kampus. Bagaimana jilbab makin banyak yang makai. Bagaimana pengajian bisa diadakan tiap hari atau seminggu sekali di kampus.
Zaman saya kuliah di IPB, teman-teman yang menjadi aktivis dakwah bergabung dalam BKI. Badan Kerohanian Islam. Organisasi ini bermarkas di masjid kampus, Al Ghifari. Tiap minggu kita berkumpul di sana. Mengadakan rapat, atau mengadakan kegiatan bersama. Mulai dari pembinaan anak dan remaja, pembinaan mahasiswa dan kegiatan masyarakat.
Waktu itu, mahasiswa semester pertama harus mengikuti asistensi agama di masjid. Jadi selain mereka mendapat kuliah agama Islam di kampus, mereka juga mendapat kuliah di masjid. Di masjid ini yang membimbing adalah mahasiswa-mahasiswa senior. Sedang di kampus yang mengajar adalah para dosen.
Dengan adanya asistensi agama, maka masjid selalu ramai tiap hari. Mereka biasanya membentuk lingkaran (halaqah) ketika belajar di masjid. Di situ mereka belajar akidah Islam, syariat Islam, akhlak Islam dan lain-lain.
Di tingkat nasional wadah para aktivis Islam saat itu adalah Forum Silaturahmi Lembaga Dakwah Kampus (FSLDK). Hampir tiap tahun diadakan pertemuan LDK nasional. Beberapa kali saya kebetulan ikut dalam pertemuan nasional ini. Diantaranya di Unpad dan Ikopin Bandung.
Jadi waktu itu meski dari jamaah yang berbeda-beda tapi bisa menyatu di FSLDK. Saat itu ada mahasiswa yang masuk jamaah Hizbut Tahrir, Tarbiyah, Shalahuddin UGM, Salman ITB dan lain-lain. Mereka bisa menyatu dalam FSLDK karena melihat kepentingan yang sama. Yaitu bagaimana menyemarakkan dakwah di kampus dan bagaimana agar Islamisasi dapat berjalan di Indonesia.
Indah benar saat itu. Kini penyatuan gerakan dakwah mahasiswa ‘sudah tidak ditemui lagi.’ Masing-masing mengadakan gerakan sendiri-sendiri sampai tingkat nasional.
Menjadi aktivis yang susah adalah ketika keluar dari kampus. Apalagi kalau sudah tidak tergabung dalam jamaah pengajian. Sendiri bergerak. Perlu semangat dan tekad kuat untuk terus berjalan di jalan dakwah. Banyak mantan aktivis mahasiswa yang lupa dakwah setelah keluar dari kampus (futur). Ia hanya hidup untuk dirinya sendiri dan bahkan bermewah-mewah, sebuah kehidupan yang coba dihindari bagi aktivis kampus sejati.