SUARA PEMBACA

Menjadi Tamu Allah

Haji di Masa Kejayaan Islam

Haji merupakan salah satu bentuk ibadah yang menampakkan syiar-syiar Allah (sya’airallahu), wajib ditegakkan. Dari sana akan tampak kemuliaan dan keagungan agama Allah. Sebagaimana firman Allah,

“Demikianlah (perintah Allah). Dan barang siapa mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah, maka sesungguhnya hal itu timbul dari ketakwaan hati.” (QS. Al-Hajj 22: Ayat 32)

Karenanya dibutuhkan seorang imam untuk mengurusi keperluan haji. Bukan untuk menangguk keuntungan. Tapi benar-benar sebagai tanggung jawab pemimpin mengurusi umat. Seperti pernah terjadi pada beberapa Khalifah yang mengerahkan energinya untuk haji. Pada masa Khalifah Abdul Malik bin Marwan, diangkat para pekerja untuk melayani para jamaah haji di masjid.

Sedangkan Khalifah Abu Ja’far al Mansur memperluas Masjidil Haram dan mengganti marmer, serta memperbaiki sumur zam zam. Khalifah Al Mahdi membangun pilar dan lampu di sekitar Kabah dan akses jalan untuk kemudahan melaksanakan sa’i.

Zubaidah binti Jafar isteri Harun Ar Rasyid, membangun jalan Zubaydah di sepanjang perjalanan menuju Kabah, dengan 54 pemberhentian yang dilengkapi kolam, tempat peristirahatan dan masjid. Para jamaah yang melakukan perjalanan haji, beristirahat, minum, mandi, mencuci, bahkan berenang di kolam dan sumur tersebut.

Sultan Abdul Hamid II pun menuntaskan perkara umat muslim di Aceh yang pernah dihalangi berhaji, pada masa penjajahan Belanda. Tidak hanya itu, Khalifah pun mencarikan solusi, menyiapkan beragam sarana dan prasarana agar jamaah Aceh bisa sampai di Baitullah.

Sejalan dengan yang demikian, wali atau gubernur di  kota-kota besar seperti Kairo, Baghdad, Damaskus, akan menunjuk Amirul Hajj. Hal tersebut menjadi perhatian utama Khalifah. Tidak tanggung-tanggung, tiga bulan sebelumnya persiapan telah matang. Sehingga musim haji berlangsung laksana muktamar akbar bagi umat dan  saat yang dinanti untuk berjumpa dengan Khalifah.

Mereka akan menyampaikan keluhan, pengaduan dan koreksi pada pemimpin negara secara langsung. Khalifah pun akan menanggapi dan mencarikan solusi, sekaligus  bertanya pada warganya perihal kepemimpinan para wali di wilayah mereka.

Hal ini pernah dilakukan Umar bin Khaththab ketika ia mengumpulkan para wali dari berbagai wilayah pada musim haji untuk meminta pertanggungjawaban mereka. (al-‘Allamah Syekh Taqiyuddin an-Nabhani, Nidzam al-Hukm fi al-Islam, hal. 180).

Selain itu negara pun memiliki peran utama untuk menyelesaikan perkarateknis dan administrasi, termasuk uslub dan wasilah, yang merupakan hukum ijra’i . Apalagi  ibadah haji memiliki waktu yang khusus yaitu Syawal, Dzulqa’dah dan Dzulhijjah, serta tempat yang khusus pula yaitu Makkah, Mina, Arafah, Muzdalifah dan Madinah.

Pengelolaan hukum ijra’i dilakukan sejalan dengan hukum syara’, yang memiliki prinsip dasar dalam pengaturan yakni basathah fi an-nidzam (sistemnya sederhana), su’ah fi al-injaz (eksekusinya cepat) dan ditangani oleh orang yang profesional dari pusat hingga daerah. Mencakup seluruh transportasi, akomodasi, layanan kesehatan hingga jamaah kembali ke tempat asalnya.

Laman sebelumnya 1 2 3Laman berikutnya

Artikel Terkait

Back to top button