SUARA PEMBACA

Menjadi Tamu Allah

Bahkan Khalifah pun membuka opsi perjalanan darat, laut dan udara dengan biaya yang terjangkau, dengan prinsip ri’ayatu syu’un al-hujjaj wa al-‘ummar (mengurus urusan jamaah haji dan umrah). Pada masanya, Sultan Abdul Hamid II membangun transportasi massal dari Istambul, Damaskus hingga Madinah untuk mengangkut jamaah haji.

Khalifah ‘Abbasiyyah, Harun ar-Rasyid, bahkan membangun jalur haji dari Irak hingga Hijaz (Makkah-Madinah). Kemudian ia menyediakan beberapa pos layanan umum untuk logistik, termasuk dana zakat bagi yang kehabisan bekal. Pemerintah kala itu mengerahkan usaha yang luar biasa untuk pelaksanaan haji. Fakta seperti ini sulit kita temukan di masa sekarang.

Semakin mudah berhaji di masa itu, sebab tidak diperlukan adanya visa. Seluruh wilayah pelaksanaan haji, termasuk dalam kekhilafahan. Kaum muslim bebas pergi dari satu tempat ke tempat lain. Visa hanya berlaku untuk kaum muslim yang menjadi warga negara kafir, baik kafir harbi hukman maupun fi’lan. Sekat semu nasionalisme justru memecah belah umat dan membuat biaya berhaji menjadi tinggi.

Yang terakhir yang tak kalah pentingnya adalah Khalifah memimpin wukuf dan menyampaikan Khotbah ‘Arafah. Hanya ada satu Khotbah saat wukuf, yaitu Khotbah Khalifah, dengan satu bahasa yaitu Bahasa Arab sebagai bahasa resmi negara. Bukan Khotbah sendiri-sendiri di masing-masing tenda.

Khotbah ini merupakan pesan penting yang akan dibawa pulang oleh jamaah, kembali ke negerinya masing-masing, hingga semakin menancapkan akidah di dada-dada kaum muslim. Merubah gerak umat untuk meninggalkan pemikiran kufur kemudian melangkah seirama menuju kebangkitan.

Indahnya menjadi tamu Allah tatkala Islam diterapkan. Banyak kemudahan. Menjadikan momen haji sebagai dakwah tersendiri untuk menunjukkan kewibawaan Islam ke seluruh penjuru dunia.  Allahumma ahyanaa bil Islam.

Lulu Nugroho, Muslimah pegiat literasi.

Laman sebelumnya 1 2 3

Artikel Terkait

Back to top button