Menjaga Fitrah Anak di Tengah Tantangan Zaman

Di tengah derasnya arus informasi, perubahan sosial yang cepat, dan derasnya budaya global yang sering tidak sejalan dengan nilai Islam, kita kerap lupa pada satu amanah besar: menjaga fitrah anak. Fitrah, sebagaimana sabda Nabi Muhammad ﷺ, adalah sesuatu yang suci, bening, dan lurus sejak awal penciptaannya.
Rasulullah ﷺ bersabda: “Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah. Maka kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Hadis ini bukan hanya sekadar ungkapan teologis, tetapi sebuah peringatan mendalam. Anak ibarat tanah yang subur; benih apa pun yang ditanam akan tumbuh. Jika yang ditanam adalah tauhid, akhlak, dan cinta pada kebenaran, maka ia akan tumbuh menjadi pohon yang meneduhkan. Sebaliknya, jika dibiarkan tanpa bimbingan, benih-benih buruk dari lingkungan dan media akan menyusup, merusak, bahkan mencabut akarnya.
Dalam pandangan Islam, fitrah adalah modal awal setiap manusia. Al-Qur’an menyebutkan: “(Tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah.” (QS. Ar-Rum: 30).
Ayat ini menegaskan bahwa fitrah adalah cahaya Ilahi yang ditanamkan ke dalam jiwa manusia. Namun, cahaya itu tidak akan otomatis bertahan jika tidak dirawat. Seperti lentera, ia membutuhkan minyak yang cukup, sumbu yang dijaga, dan penjagaan dari angin yang berusaha memadamkannya.
Di sinilah peran orang tua, guru, dan masyarakat: menjadi penjaga fitrah. Mereka bukan hanya penanam nilai, tetapi juga pelindung dari badai zaman.
Zaman ini menghadirkan tantangan yang jauh berbeda dari era sebelumnya. Anak-anak tidak hanya belajar dari orang tua atau guru di sekolah, tetapi juga dari layar kecil yang berada di genggaman mereka. Media sosial, tontonan digital, dan arus informasi global sering membawa nilai-nilai yang bertentangan dengan akhlak Qur’ani.
Di satu sisi, teknologi adalah alat yang bisa membawa kebaikan. Namun di sisi lain, jika tidak dikendalikan, ia bisa menjadi racun yang mengikis fitrah. Anak-anak yang seharusnya belajar adab dari orang tua justru lebih banyak meniru konten viral yang seringkali jauh dari nilai-nilai Islam.
Imam Al-Ghazali pernah mengingatkan, hati anak laksana permata yang sangat berharga. Jika dibiasakan pada kebaikan, ia akan tumbuh bahagia dunia akhirat. Tetapi jika dibiarkan dalam keburukan, ia akan terseret pada kehancuran.
Menjaga fitrah bukan berarti melarang anak dari semua hal baru, melainkan membimbing mereka agar tetap berpegang pada poros nilai Islam. Ada tiga cara utama yang bisa kita lakukan:
1. Menanamkan Tauhid Sejak Dini
Anak harus dibesarkan dengan kesadaran bahwa Allah adalah Rabb mereka, Pemberi rezeki, Penolong, dan Pengawas setiap amal. Tauhid adalah fondasi kokoh agar fitrah tetap lurus.
2. Membiasakan Akhlak dalam Kehidupan Sehari-hari
Fitrah anak terjaga ketika mereka dibiasakan dengan ucapan jujur, perbuatan baik, dan adab Islami. Rasulullah ﷺ adalah teladan utama dalam hal ini; beliau mendidik dengan keteladanan, bukan sekadar perintah.
3. Menguatkan Peran Keluarga dan Lingkungan