Menjemput Ampunan di Hari Arafah

Hari itu mendekat. Hari ketika jutaan manusia dari seluruh penjuru dunia berdiri dalam satu padang yang sama, berpakaian putih yang seragam, tanpa status, tanpa pangkat, tanpa gelar. Mereka berdiri di hadapan Tuhan mereka, dengan air mata yang mengalir, tangan yang menengadah, dan hati yang pasrah.
Itulah Hari Arafah, puncak dari ibadah haji, tetapi juga hari luar biasa bagi seluruh umat Islam—termasuk kita yang tidak sedang berhaji.
Dalam Al-Qur’an, Allah bersumpah dengan hari-hari yang agung, salah satunya adalah Hari Arafah. Allah berfirman:
“وَشَاهِدٍ وَمَشْهُودٍ”
“Dan yang menyaksikan dan yang disaksikan.” (QS. Al-Buruj: 3)
Menurut sebagian mufassir, “yang disaksikan” adalah Hari Arafah (lihat Tafsir Ibn Katsir). Ini menunjukkan bahwa Hari Arafah bukan hari biasa. Ia adalah hari yang menjadi saksi atas penghambaan manusia kepada Tuhannya.
Rasulullah Saw bersabda: “Tidak ada hari yang lebih banyak Allah membebaskan hamba dari neraka selain Hari Arafah. Dan sesungguhnya Allah mendekat dan membanggakan mereka kepada para malaikat, lalu berfirman: Apa yang mereka inginkan?” (HR. Muslim)
Bayangkan, hari di mana langit terbuka. Doa-doa naik begitu cepat. Ampunan begitu luas. Dan Allah bahkan membanggakan hamba-hamba-Nya yang berdoa kepada-Nya.
Meskipun puncak Hari Arafah terjadi di padang Arafah bersama para jamaah haji, umat Islam di seluruh dunia pun diajak merasakan keagungannya.
Salah satu bentuk ibadah yang sangat dianjurkan bagi yang tidak berhaji adalah puasa Arafah. Rasulullah Saw bersabda: “Puasa hari Arafah, aku berharap kepada Allah agar menghapus dosa setahun yang lalu dan setahun yang akan datang.” (HR. Muslim)
Bayangkan, dua tahun dosa-dosa kecil dihapus hanya dengan satu hari berpuasa!
Arafah adalah cermin. Ia memperlihatkan siapa diri kita sebenarnya—seorang hamba yang rapuh, fakir, dan penuh dosa, tetapi masih diberi kesempatan untuk kembali. Dalam hiruk-pikuk dunia yang serba cepat ini, Hari Arafah memaksa kita untuk berhenti sejenak, menengok ke dalam, lalu menengadah ke langit.
Ia mengingatkan kita bahwa hidup ini pada akhirnya adalah tentang kembali kepada Allah, dengan hati yang bersih, amal yang ikhlas, dan harapan yang besar akan rahmat-Nya.