Menyambut 55 Tahun Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia
Ketika Partai Masyumi dilarang untuk dihidupkan kembali dan para tokoh Dewan Da’wah dilarang terjun ke politik kepartaian lagi, maka Pak Natsir dan para tokoh lainnya membuat keputusan yang cerdas dalam dakwah. Mereka menyikapi kebijakan pemerintah Orde Baru dengan “dingin” dan berwawasan jauh ke depan. Berbagai tantangan dakwah dihadapi dengan tenang dan bijak, melalui pendirian Dewan Da’wah dan melakukan aktivitas dakwah dalam bidang pendidikan aktivitas amar ma’ruf nahi munkar. Sebab, laksana air, dakwah itu terus dibutuhkan oleh umat manusia. Para tokoh dakwah itu terus menjalankan da’wah ilallah dengan cara “al hikmah wal mau’idzatil hasanah dan al mujadalah billati hiya ahsan”.
Pendiri Dewan Da’wah, Mohammad Natsir, sebagai pemimpin Dewan Da’wah selama 26 tahun (1967-1993) telah meletakkan pondasi yang kuat dan menjadi model utama dalam menjalankan roda organisasi Dewan Da’wah. Kepemimpinan berikutnya dipimpin oleh Prof. HM Rasjidi, Dr. Anwar Harjono, KH Affandi Ridwan, HM Cholil Badawi, H. Hussein Umar, H. Syuhada Bahri, H. Mohammad Siddiq dan mulai tahun 2020: Ketua Pembina Prof. Dr. KH Didin Hafidhuddin dan Ketua Umum Dr. Adian Husaini.
Jadi, selama 55 tahun, perjalanan dakwah Dewan Da’wah telah meraih banyak kemajuan dalam bidang dakwah. Pada setiap pencapaian tentu muncul pula tantangan baru. Pengurus Dewan Da’wah dituntut untuk menetapkan tujuan dan target-target capaian dakwah yang tepat dan sekaligus bersikap adaptif dalam memberikan respon terhadap tantangan dakwah kontemporer. Keteladanan para pendiri dan pemimpin dakwah dalam mentradisikan musyawarah saat mengambil keputusan perlu dilanjutkan.
Selain itu, pendiri Dewan Da’wah, Mohammad Natsir menekankan pentingnya melaksanakan dakwah bil-hikmah, sebagaimana diperintahkan Allah SWT: “Serulah (manusia) ke jalan Tuhanmu dengan hikmah, dan pengajaran yang baik, serta debatlah mereka dengan cara yang lebih baik.” (QS an-Nahl (16): 125).
Dalam buku terkenalnya, Fiqhud Da’wah, pendiri Dewan Da’wah, Mohammad Natsir, membahas masalah “hikmah” sepanjang 83 halaman, dari 347 halaman bukunya. Mengutip pendapat Muhammad Abduh dalam Tafsir al-Manar, M. Natsir menjelaskan makna hikmah sebagai berikut: “Ammal hikmatu fa-hiya fii kulli syai’in ma’rifatu sirrihi wa-faaidihi” (Adapun hikmah adalah memahamkan rahasia dan faedah tiap-tiap sesuatu).
M. Natsir kemudian menyimpulkan makna hikmah: “Hikmah, lebih dari semata-mata ilmu. Ia adalah ilmu yang sehat, yang sudah dicernakan; ilmu yang sudah berpadu dengan rasa periksa, sehingga menjadi daya penggerak untuk melakukan sesuatu yang bermanfaat, berguna. Kalau dibawa ke bidang da’wah: untuk melakukan sesuatu tindakan yang berguna dan efektif.”
Penjelasan M. Natsir tentang hikmah dalam dakwah ini sangat penting, sebab beliau adalah tokoh dakwah yang diakui oleh dunia internasional. Pak Natsir bukan sekedar akademisi atau pengajar mata kuliah ilmu dakwah. Tetapi, beliau sudah terjun dalam dunia dakwah sejak usia belia. Sejak duduk di bangku SMA di Bandung, Natsir muda sudah aktif dalam organisasi dakwah (Jong Islamieten Bond/JIB), dan berguru kepada guru-guru terbaik, seperti A. Hassan, Haji Agus Salim, dan Syekh Ahmad Soorkati. Inilah salah satu kunci sukses dakwah. Yakni, dakwah bil-hikmah.
Mohon doanya. Semoga milad ke-55 DDII dapat berlangsung dengan baik dan menghasilkan manfaat besar bagi kemajuan dakwah Islam di Indonesia. Aamiin.
Depok, 22 Februari 2022
Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)