Menyimak Perjuangan Rasulullah
Bolehkan kita menelaah Al-Qur’an dan menebak makna di dalamnya? Boleh. Apalagi bila anda sudah berilmu cukup. Karena Al-Qur’an ini untuk seluruh manusia, bukan untuk para ulama atau ahli tafsir saja. Kita boleh menelaah dan bila kita tidak tahu maknanya, kita bisa bertanya pada ulama yang ahli bahasa Arab atau ahli tafsir. Menarik pernyataan Sayid Qutb yang menyatakan bahwa ia khawatir menulis Tafsir fi Zhilalil Qur’an itu, orang akan menengok tafsirnya saja. Qutb ingin orang-orang langsung membaca atau menelaah ‘mushaf Al-Qur’an’ dan merasakan getarannya sendiri.
Ya memang Al-Qur’an langsung menyentuh dalam hati sanubari manusia. Cat Steven (Yusuf Islam), penyanyi terkenal Inggris masuk Islam karena getaran langsung dari Al-Qur’an. Ribuan atau jutaan manusia memeluk Islam, karena bersentuhan langsung dengan wahyu Ilahi ini.
“… dan sesungguhnya Al-Qur’an itu adalah kitab yang mulia. Yang tidak datang kepadanya (Al-Qur’an) kebatilan baik dari depan maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari Rabb Yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji.” (Fushilat 41-42)
Karena kecintaan kepada Al-Qur’an, ‘jutaan’ orang menghafalnya dan milyaran manusia membacanya. Maka jangan remehkan orang yang menghafal Al-Qur’an. Coba apakah ada orang yang sanggup menghafal per kata buku setebal Al-Qur’an? Kalau ada, mungkin hanya satu atau dua orang. Ini Al-Qur’an dihafal ‘jutaan orang’.
Maka tidak salah bila banyak kampus di Indonesia kini menerima santri yang hafal Al-Qur’an 30 juz. Ketekunannya dalam menghafal Al-Qur’an ini menunjukkan dirinya sikap menerima ilmu-ilmu lainnya untuk dihafal atau dipelajari. Bukankah banyak ilmu yang menghafal merupakan suatu keharusan? Ilmu kedokteran misalnya, para mahasiswa perlu menghafal organ-organ pada tubuh manusia, obat/terapi yang tepat untuk penyakit dan lain-lain.
Tapi menghafal saja tidak cukup. Bila kita ingin meniru para sahabat Rasulullah yang hebat-hebat itu, maka kita harus memahami maknanya. Bukankah para sahabat faham bahasa Arab, sehingga ketika wahyu sampai kepadanya mereka memahami isinya? Maka, karena tujuan Al-Qur’an diturunkan untuk dipraktekkan, Rasulullah mendidik para sahabat dengan ‘10 ayat, 10 ayat’. Agar 10 ayat itu difahami dan diamalkan.
Al-Qur’an adalah puncaknya ilmu manusia. Ilmu psikologi, militer, ekonomi, sosial politik, hukum dan lain-lain berhadapan dengan Al-Qur’an, maka ilmu itu akan takluk. Dalam ilmu psikologi misalnya, Al-Qur’an mendorong manusia hanya takut pada Allah, tidak takut pada makhluk. Dalam ilmu militer, Al-Qur’an menyeru agar kaum Muslim mengalahkan pemimpin orang kafir (bukan prajurit). Dalam ilmu ekonomi, Al-Qur’an menyerukan zakat dan shadaqah bukan pajak. Dalam ilmu sosial politik, Al-Qur’an menegaskan perdamaian adalah utama, peperangan adalah darurat. Dalam ilmu hukum, Al-Qur’an menyentuh relung hati manusia agar melaksanakan hukum-hukum Al-Qur’an. Beda dengan hukum Barat yang ‘kering tidak menyentuh jiwa’.
“Dan (ingatlah) pada hari (ketika) Kami bangkitkan pada setiap umat seorang saksi atas mereka dari mereka sendiri, dan Kami datangkan engkau (Muhammad) menjadi saksi atas mereka. Dan Kami turunkan Kitab (Al-Qur’an) kepadamu untuk menjelaskan segala sesuatu, sebagai petunjuk, serta rahmat dan kabar gembira bagi orang yang berserah diri (Muslim).” (QS an Nahl 89)
Mereka yang mempraktikkan Al-Qur’an dalam kehidupannya, maka ia akan menang. Ia akan bahagia, dunia dan akhirat. Seperti kisah Rasulullah dan para sahabat yang meraih kemenangan, meski kaum kafir menggempurnya habis-habisan. Dalam bukunya Dirasah Islamiyah (Beberapa Studi tentang Islam), Sayid Qutb menulis:
“Kemenangan itu diperoleh bukan dalam pertempuran, bukan dalam peperangan (sejatinya). Bukan memerintah seluruh Jazirah Arabia. Bukan menundukkan kedua imperium Kisra dan Persia. Tetapi ia adalah kemenangan universal yang telah masuk dalam tubuh kehidupan, mengubah jalannya sejarah, menukar nasib alam dan terpatri dalam hati nurani zaman.
Kemenangan ini adalah suatu kemenangan yang tidak dapat dihilangkan oleh kemenangan seketika yang diderita umat Islam dalam suatu waktu tertentu. Nilainya tidak akan pernah berkurang karena lahirnya filsafat dan mazhab-mazhab baru. Cahayanya tidak akan pernah redup oleh menangnya suatu kelompok terhadap kelompok lain di suatu bagian dunia. Karena akarnya terhunjam pada alam semesta, tertanam dalam hati nurani manusia, mengalir dalam saluran-saluran kehidupan.
Kemenangan yang buktinya terdapat dalam dirinya sendiri tidak memerlukan bukti dan keterangan lagi.