SUARA PEMBACA

Menyoal Tambang Nikel di Raja Ampat

Gemah ripah loh jinawi. Negeri yang makmur, tenteram, subur, dan kaya akan hasil alam itulah semestinya yang menjadi gambaran indah negeri ini. Namun fakta berbicara, negeri yang makmur ini tengah digerogoti oleh manusia-manusia serakah yang mengeksploitasi kekayaan alamnya secara ugal-ugalan. Menyisakan kerusakan baik di darat maupun di lautan sehingga tidak tersisa rasa tenteram dalam jiwa dan hati penduduknya.

Ya, ketenteraman rakyat di Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat Daya tengah terusik oleh aktivitas tambang nikel yang tengah menyita perhatian publik. Aktivitas tambang ini memicu gelombang kritis dan protes keras, salah satunya dari Greenpeace, serta memunculkan tagar #SaveRajaEmpat di media sosial. Tekanan dari publik yang kian membesar ini turut memaksa pemerintah mencabut izin tambang bermasalah tersebut.

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Bahlil Lahadalia, menyebutkan bahwa keempat perusahaan yang dicabut izinnya adalah PT Kawei Sejahtera Mining, PT Mulia Raymond Perkasa, PT Anugerah Surya Pratama, PT Nurham. Menurut pemerintah, keempat perusahaan ini tak memenuhi syarat administratif dan dinyatakan melanggar hukum lingkungan. Sementara itu, PT GAG Nikel, anak usaha Antam, diizinkan tetap beroperasi karena berada di luar zona UNESCO dengan wilayah penambang seluas 13.136 hektare. Izin ini jelas menimbulkan tanda tanya publik dan dinilai bahwa pemerintah tampak setengah hati melindungi ekosistem Raja Ampat. (CNNIndonesia.com, 11 Juni 2025).

Raja Ampat, salah satu wilayah laut dengan keanekaragaman hayati tertinggi di Bumi ini merupakan rumah bagi 75% spesien karang dunia dan lebih dari 1.600 spesies ikan, termasuk penyu sisik yang terancam punah dan ikan pari mangan yang rentan. (apnews.com, 31 Januari 2025). Kini, pusat keragaman hayati laut yang menjadi surga dunia ini terancam rusak akibat penambang nikel yang ugal-ugalan. Kerusakan di wilayah ini jelas menjadi kerugian ekologis yang tak ternilai. Ironisnya, proyek pertambangan ini tetap berjalan meskipun tanpa kepastian hukum yang kuat, bahkan disebut bertentangan dengan Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Sengkarut hukum yang terjadi menunjukkan betapa lemahnya kontrol negara terhadap aktivitas eksploitasi sumber daya alam yang dilakukan oleh korporasi. Alih-alih menjaga kepentingan rakyat dan lingkungan, negara malah tampak berpihak pada kepentingan para pemilik modal. Tampak nyata bagaimana wajah kapitalisme sebagai sistem yang rakus dan serakah, serta merusak kelestarian lingkungan demi mendulang pundi-pundi rupiah.

Paradigma kapitalisme menempatkan keuntungan materi sebagai orientasi utama. Sehingga jangan heran jika regulasi yang semestinya lahir untuk menjaga alam justru malah dilanggar atas nama investasi. Sebab, para pemilik modal ini berpengaruh kuat dalam menentukan arah kebijakan, bahkan kerap mengalahkan suara rakyat dan hukum yang ada.

Penambangan nikel di Raja Ampat menambah daftar panjang derita rakyat. Inilah buah pahit hidup dalam naungan kapitalisme yang lahir dari buah pemikiran manusia yang lemah dan terbatas. Tata kelola sumber daya alam alih-alih mendatangkan keberkahan bagi rakyat, sebaliknya justru mendatangkan kerugian bahkan kesengsaraan.

Berbeda dengan kapitalisme, Islam memiliki pandangan yang khas dalam mengelola sumber daya alamnya. Dalam pandangan Islam, sumber daya alam seperti nikel adalah milik umum. Negara tidak boleh menyerahkannya kepada individu atau korporasi, apalagi yang hanya mengutamakan keuntungan pribadi. Negara wajib mengelolanya secara langsung demi kemaslahatan rakyat.

Islam juga mewajibkan pemimpin menjaga amanah dalam mengelola sumber daya alamnya. Mereka wajib berperan sebagai pengurus urusan rakyat (raa’in) dan penjaga kepentingan rakyatnya (junnah). Oleh karena itu, tata kelola sumber daya alam dalam Islam bukan sekadar mencari keuntungan semata, melainkan erat kaitannya dengan tanggung jawab moral dan spiritual.

Di sisi lain, konsep hima dalam Islam menjadi solusi nyata dalam menjaga kelestarian alam. Hima adalah kawasan konservasi yang ditetapkan negara demi melindungi lingkungan dari eksploitasi. Konsep ini menunjukkan bahwa Islam tidak hanya memperhatikan aspek spiritual, tetapi juga menaruh perhatian serius pada kelestarian dan keseimbangan ekosistem.

Pengelolaan SDA yang sejalan dengan syariat tidak akan membiarkan kerusakan terjadi. Sebab, kerusakan lingkungan akan berdampak langsung pada keberlangsungan hidup manusia. Islam memandang bahwa menjaga lingkungan adalah bagian dari ibadah karena Allah SWT menciptakan seluruh yang ada di bumi dan di langit sebagai amanah yang harus dijaga, bukan untuk dieksploitasi habis-habisan dan dirusak.

Alhasil, sudah saatnya kita mengevaluasi sistem yang selama ini digunakan dalam mengelola kekayaan alam negeri ini. Sungguh selama sumber daya alam dikelola dengan pendekatan kapitalistik niscaya konflik kepentingan antara rakyat dan korporasi akan terus berulang. Sejatinya, rakyat butuh sistem alternatif yang berpihak pada kepenting rakyat dan kelestarian alam.

Maka Islam sebagai sistem hidup yang sempurna menawarkan solusi menyeluruh terhadap persoalan ini. Dengan aturan yang bersumber dari wahyu, pengelolaan sumber daya alam nisacaya akan dilakukan secara adil, berkelanjutan, dan mengutamakan kesejahteraan rakyat serta kelestarian lingkungan. Kini, saatnya tata kelola tambang dan seluruh sumber daya alam lainnya dikembalikan sesuai syariat.

Mahabenar Allah dengan firman-Nya, “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)”. Wallahu’Alam bissawab. []

Jannatu Naflah, Praktisi Pendidikan

Artikel Terkait

Back to top button