Menyoal Wacana Penghapusan Pendidikan Agama
Pernyataan pengusaha Setyono Djuandi Darmono menuai polemik. Chairman Jababeka Group, yang juga pendiri President University tersebut mengusulkan agar pendidikan agama tidak perlu diajarkan di sekolah. Menurutnya, agama cukup diajarkan orang tua masing-masing atau lewat guru agama di luar sekolah.
Masih menurut Darmono, muncul politik identitas disebabkan agama dimasukan dalam kurikulum pendidikan. Tanpa disadari, sekolah sudah menciptakan perpecahan di kalangan siswa. Sebab memperoleh pendidikan agama secara terpisah menurut agama dan kepercayaan masing-masing. Sehingga semestinya, para siswa tersebut tidak perlu dipisah dan itu dapat dilakukan jika mapel agama ditiadakan. Selain itu, menjadikan agama sebagai politik identitas, justru memicu radikalisme. (jpnn.com, 4/7/2019).
Kontra terhadap pernyataan Darmono muncul dari banyak pihak. Praktisi pendidikan Anto Apriyanto pun angkat bicara. Ia menegaskan ide penghapusan pendidikan agama merupakan bagian dari gerakan sekuler yang bertentangan dengan Pancasila.
Ide tersebut juga tak sejalan tujuan pendidikan nasional yang termaktub dalam pasal 3 Undang-undang Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003. Di mana tujuan pendidikan nasional adalah untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Dosen yang juga menjadi Ketua Harian Komunitas Ekonomi Islam Indonesia (Koneksi) ini menghubungkan dengan perspektif ekonomi Islam. Menurutnya, penghapusan pelajaran agama dari sekolah akan berpotensi melahirkan manusia yang tidak paham konsep tauhid dalam ekonomi, rizki, syukur, sabar, qana’ah, amanah, berbagi (ZIS), utang, istidraj, hingga kufur. (suara-islam.com, 6/7/2019).
Sementara dalam penutupan kegiatan STQ Nasional ke XXV di Pontianak, Jumat malam, 5/7/2019, Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin menegaskan pemerintah tidak akan pernah menghilangkan pendidikan agama di setiap jenjang pendidikan. Ia menambahkan pendidikan agama adalah mutlak untuk terus dipertahankan dan dikembangkan, karena ini tidak bisa dipisahkan dalam kehidupan keseharian kita. Mengamalkan ajaran agama hakikatnya adalah wujud dari pengamalan kita sebagai warga negara. (antaranews.com, 5/7/2019).
Pemikiran Sekuler tak Sejalan Fitrah
Sepakat dengan praktisi pendidikan Anto Apriyanto. Wacana penghapusan pendidikan agama jelas merupakan buah pemikiran sekuler yang tegak atas negeri ini. Mirisnya, pemikiran sekuler ini telah banyak menginfeksi para pemikir hari ini. Alih-alih menjadikan agama sebagai ruh dalam seluruh mata pelajar sekolah. Sebaliknya justru mewacanakan penghapusan mapel agama di ranah pendidikan.
Menjadi rahasia publik, problematika pendidikan Indonesia tak juga kunjung tuntas. Wacana penghapusan mapel agama, tentu akan menimbulkan masalah baru, dari segunung masalah yang menimpa dunia pendidikan kita. Fakta berbicara, mapel agama yang hanya dua jam pelajaran per minggu saja, telah gagal membentuk generasi yang beradab dan berakhlak mulia. Nah, apatah lagi jika benar-benar dihilangkan?
Dalih ketakutan bahwa agama memunculkan politik identitas sehingga memicu radikalisme, juga sangat tak beralasan. Apatah lagi jika politik identitas dan radikalisme ini dimaksudkan kepada Islam dan umatnya. Dunia tak lagi perlu meminta bukti. Bahwa umat Islam di Indonesia sangat toleran, bahkan terlewat toleran. Isu radikalisme juga hanya pepesan kosong yang tak lagi mempan sebagai alat memecah belah.
Beragama merupakan sebuah fitrah. Sebagai bentuk al-gharizahtu at-taddayun (naluri mentaqdiskan/mensucikan sesuatu) dalam diri manusia. Fitrah yang telah Allah Ta’ala ciptakan ini, jelas tak dapat dihilangkan dalam diri manusia. Memisahkan bahkan menihilkan peran agama dalam kehidupan bermuara pada kerusakan individu, tatanan masyarakat dan negara. Sebab hal ini tak sejalan dengan fitrah manusia.