Merdeka, Setengah Merdeka dan Tidak Merdeka
Zaman dahulu ada budak. Orang yang tidak merdeka sama sekali. Ia harus menuruti tuannya apapun yang diperintahkannya. Bahkan kalau tuannya menyiksanya, ia pun tetap patuh kepadanya.
Menjadi karyawan sebenarnya menjadi orang setengah merdeka. Ia harus selalu menuruti peraturan perusahaan atau bosnya. Cuma beda dengan budak, karyawan bisa punya kreativitas. Ia bisa usul atau saran untuk perbaikan perusahaannya. Ia pun hanya bekerja sekitar delapan jam sehari. Bahkan ia suatu saat bisa menjadi direktur atau bos yang posisinya tentu lebih merdeka dari karyawan.
Menjadi pengusaha, kiyai, penulis dan sejenisnya adalah menjadi orang merdeka. Mereka harus mengatur waktu sendiri dan mencari uang sendiri. Usaha harus lebih keras dan kreativitas mesti lebih kuat.
Tidak mudah menjadi manusia merdeka . Banyak orang senang jadi karyawan. Karena karyawan umumnya risikonya rendah dan tiap bulan menerima gaji tetap. Seorang pengusaha risikonya besar, memikirkan gaji karyawannya tiap bulan meski kalau mujur ia juga akan untung besar.
Tapi sebenarnya, menurut Islam, ada manusia yang benar-benar merdeka di atas semua itu. Yaitu manusia yang tauhidnya tinggi. Ia hanya tunduk atau takut kepada Allah semata. Orang seperti ini tidak takut dicaci, dipenjara, kehilangan kedudukan atau kehilangan fulus. Ia hanya takut bila ia melanggar perintah Allah dan RasulNya.
Manusia yang paling tinggi tauhidnya adalah Rasulullah Saw. Bayangkan beliau ketika menerima wahyu dan mulai berdakwah sendirian. Tidak takut hinaan, cacian, kehilangan jabatan bahkan ancaman pembunuhan. Pribadinya yang hebat itu menjadikan Islam tersebar luas ke seluruh dunia.
Kita bisa menyaksikan di tanah air beberapa orang tokoh yang ‘hilang urat takutnya’. Seperti Habib Rizieq, Amien Rais dll. Mereka hanya takut pada Allah semata. Mereka terus menyuarakan amar makruf nahi mungkar, meski penguasa mengancamnya dengan jeruji kerangkeng.
Para sahabat dan para ulama yang shalih dahulu juga mempunyai keberanian yang luar biasa. Bayangkan mereka mengarungi lautan ratusan/ribuan kilometer untuk berjihad atau menyebarkan dakwah ke seluruh dunia. Tanpa adanya jiwa yang merdeka atau tauhid yang tinggi, tidak mungkin dakwah bisa mewarnai bumi Nusantara Melayu ini.
Jiwa yang merdeka atau tauhid yang tinggi ini perlu ditanamkan kepada kader-kader muda Islam di tanah air. Apapun profesinya jadilah orang yang merdeka. Jadilah orang yang pemberani dalam berdakwah atau beramar makruf nahi mungkar. Kaum Islamofobia mereka banyak dididik untuk menjadi orang yang berani. Bayangkan keberanian mereka merobek atau membakar Al-Qur’an di depan masjid di sebuah negara Eropa. Atau bayangkan keberanian tentara Amerika menginvasi dan memporak-porandakan Irak, 2003 (contoh yang buruk).
Di samping ilmu dan adab, keberanian juga perlu dimiliki kader dakwah. Kata seorang pujangga, dunia ini dikuasai oleh orang orang yang berani.
Berani dalam Islam, bukan berani babi. Berani ngawur tanpa perhitungan. Hamka menasihatkan agar seorang Muslim tidak menjadi pengecut dan juga tidak menjadi berani babi. Berani tapi penuh perhitungan
Berani karena tahu risiko yang akan dihadapi dan yang penting berani dalam lingkup syariat.