Merenungi Kata Merdeka
74 tahun bangsa ini merdeka dari penjajahan lama. Mengusir penjajah dengan sepenuh jiwa. Seruan jihad menggema dilantangkan para ulama. Tak ada kompromi terhadap penjajahan. Meski perlawanan santri dan ulama kala itu dikatakan radikal oleh Belanda.
74 tahun bangsa ini deklarasikan diri. Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa, negeri ini memproklamirkan diri. Merdeka menjadi harga mati. Begitulah rahmat Allah diturunkan pada suatu negeri. Akhirnya Indonesia terbebas dari belenggu penjajah. Dan memenangkan jihad melawan Belanda. Bersatu padu membangun kekuatan. Ruh persatuan terpampang nyata.
74 tahun adalah usia senja. Telah banyak makan asam garam. Usia renta yang seharusnya belajar dari sejarah. Perjuangan para pahlawan dengan harta dan nyawa seharusnya dilanjutkan masa generasi sekarang. Sayangnya, generasi muda telah terpapar lakunya keturunan penjajah. Gempuran budaya Barat telah mengikis jati diri mereka sebagai manusia dan seorang hamba. Generasi kita hari ini belum merdeka. Masih terjajah pemikiran impor. Sekulerisme, liberalisme, hedonisme adalah diantara pemikiran impor yang tengah menggerogoti akhlak dan kepribadian anak bangsa.
74 tahun negeri ini katanya merdeka. SDM Unggul, Indonesia Maju menjadi tagline kemerdekaan tahun ini. Bagaimana SDM unggul? Dilihat dari kualitas generasinya. Bagaimana melihat kualitas generasi? Bukan karena keahlian, kecerdasan pikiran, modernisasi gaya hidup, ataupun kecanggihan teknologi. Kualitas generasi itu dilihat dari peradaban manusianya. Peradaban yang dibangun dari ketinggian moral. Kepribadian mulia yang berhiaskan iman dan takwa.
Bagaimana dengan Indonesia Maju? Rasanya terlalu naif jika dikata Indonesia maju di segala bidang. Faktanya, Indonesia justru mengalami kemunduran. 74 tahun memang merdeka dari penjajah Belanda. Namun, 74 tahun hari ini malah masuk jebakan Cina. Utang luar negeri membumbung tinggi. Kekayaan alam dikuasai asing. Lepas dari penjajahan fisik, malah tertawan oleh penjajahan ideologi. Ideologi trans nasional bernama kapitalisme.
Mau dibilang merdeka, secara de jure iya. Tapi secara de facto jelas tidak. Negeri ini masih dibelenggu kepentingan kapitalis. Layakkah kita teriak merdeka? Sementara, rakyat masih hidup di bawah garis kemiskinan. Kesejahteraan masih jauh dari harapan. Pantaskah kita bilang merdeka? Sementara kekayaan alamnya tak lagi dimiliki. Dikuasai segelintir korporasi. Masihkah kita merdeka? Sementara, kita diperbudak dunia. Mengasingkan Tuhan dalam mengatur kehidupan. Tak malukah kita? Diberi berbagai kenikmatan, banyak abaikan perintah Tuhan.
Malulah kita. Menjadi hamba uang, sombong kepada Sang Pencipta. Malulah kita. Merdeka karena berkah Allah Subhanahu wa Ta’ala. Tapi tak mau tunduk pada aturanNya. Malulah. Merasakan banyak nikmat tapi tak mau taat. Kalau tak lagi ada rasa malu, berbuatlah sesukamu. Allah Maha Tahu.
Chusnatul Jannah
Lingkar Studi Perempuan dan Peradaban