Meretas Jalan Dakwah di Bumi Peradaban Orang Papua
Tak lama kemudian tuan rumah mempersilahkan rombongan MUI menikmati jamuan makan siang. Saat semua piring makan telah kosong, rombongan diajak ke arah ujung selatan perkampungan untuk melihat lokasi rencana pembangunan Mushollah yang mendapat penentangan dari penduduk pribumi.
Kurang lebih setengah jam kemudian rombongan MUI yang didampingi oleh Danramil Rumberpon bertolak menuju Kampung Kaprus distrik Sougwepu.
Dari kejauhan terdengar alunan musik khas Padang pasir disertai lantunan lagu jenis gambus. Lagi-lagi hatipun mulai membatin, siapa orang yang menurut saya berani memutar lagu qasidah di tengah-tengah penduduk mayoritas Kristen. Saya terus mengarahkan pandangan kedaratan sambil mencari suara merdu Padang pasir itu berasal. Saya baru sadar bahwa di sana ada ibu Faraida yang memang sangat gemar melantunkan lagu-lagu qasidah. Maka mengertilah saya dari mana sumber musik khas Arab itu.
Karena telah memasuki waktu shalat Ashar, kami segera mendirikan shalat. Tak berapa lama kemudian, beberapa orang warga setempat mengajak kami melihat satu lokasi juga di ujung kampung. Di sana kami mendapatkan informasi bahwa lokasi dimaksud merupakan pemberian pemilik lahan yang telah memberikan izin lisan untuk dibangun sebuah Taman Pendidikan Al-Qur’an yang dalam istilah beliau sebagai tempat untuk mendidik anak-anak Islam.
Tampak wajah Ketua MUI terlihat bercahaya dengan tatapan mata penuh semangat. Terlontar dari lisan beliau, saya ingin ketemu dengan pemilik lahan dan pendeta yang ada di wilayah ini.
Utusan pun pergi dan tak lama kemudian orang yang diinginkan datang. Dari diskusi yang saya saksikan secara langsung antara ketua dan rombongan MUI dengan pemilik lahan, rupanya benar-benar beliau telah memberi izin kepada umat Islam di Kaprus untuk membangun TPA yang insyaallah akan menjadi cikal bakal Mushollah dengan tetap menyebutnya TPA.
Kembali ke sosok H. Malik. Sambil menunggu pemilik lahan, kami berdiskusi dan saling bertukar informasi mengenai asal mula Islam masuk di Tanah Papua beserta bukti-bukti sejarah. Bertukar gagasan bagaimana merumuskan strategi dakwah yang tepat untuk mencapai tujuan-tujuan dakwah. Satu persatu gagasan mulai keluar. Sayang, beliau harus bertolak balik ke gunung botak karena mendapat informasi bahwa anak perempuannya sakit.
Dari diskusi singkat itu, saya menangkap satu kata penutup dari beliau, dalam waktu dekat Sultan kami akan datang untuk membuka tabir Islam yang selama ditutup oleh pihak gereja.
Sebagai penghargaan dan rasa syukur atas perkenaannya, diusulkanlah nama itu harus menyertakan nama atau marga pemilik hak ulayat. Tanpa basa basi Yosep Kayukatui mengangguk tanda setuju. Iya dialah Bapak Yosep Kayukatui pemilik lokasi itu. Suasana haru menyelimuti hati dan rasanya ingin meneriakkan takbir. Saya yakin suasana hati ini juga dirasakan oleh Ketua MUI dan rombongan.
Inilah sekelumit kisah perjalanan dakwah MUI di bawah kepemimpinan Bapak H. Abidin Ohoimas yang merupakan terobosan cerdas penuh keberanian. Setelah sebulan sebelumnya beliau membawa rombongan yang sama dengan misi yang sama di Werianggi.
Semoga cerita singkat ini membangkitkan harapan umat Islam di Wondama untuk selalu berikhtiar dan yakin bahwa dakwah harus terus diperjuangkan di bumi Peradaban Orang Papua.
Laporan Zafiluddin dari Kabupaten Teluk Wondama, Papua Barat.