Mohammad Natsir, Muslim Urban Educated People
Jakarta (SI Online) – Persaudaraan Muslimin Indonesia (Parmusi) menggelar bedah buku ‘Biografi Mohammad Natsir; Kepribadian, Perjuangan dan Pemikiran’ karya Lukman Hakiem.
Bedah buku tokoh Masyumi ini dalam rangka menyambut Muktamar Parmusi IV di Jakarta pada akhir Maret 2020 mendatang.
Acara yang menghadirkan narasumber pengamat politik Fachry Ali, mantan Rektor Unissula Laode M Kamaluddin, tokoh DDII Mohammad Noer dan penulisnya, Lukman Hakiem, itu diselenggarakan di kawasan Patra Kuningan, Jakarta Selatan, Kamis 6 Februari 2020.
Secara singkat, Facry Ali membedah sosok Natsir dari sisi latar belakang pendidikan dan kiprah politiknya dalam pembentukan NKRI.
Dalam konteks umat Islam, Fachry menyebut Natsir sebagai seorang pioner.
“Natsir dalam konteks umat Islam merupakan salah satu pionir, pendahulu dari apa yang kita sebut dengan ‘muslim urban educated people’,” kata Fachry.
Menurutnya, pendidikan Natsir yang luar biasa mengantarnya sebagai tokoh yang berhasil menyatukan umat Islam di Tanah Air.
“Kependidikan Natsir dalam dunia pemikiran Barat yang kemudian menentukan posisinya dalam pergerakan Islam, terutama di Partai Masyumi,” kata dia.
Lebih dari itu, ia juga mengungkapkan di bawah kepemimpinan Natsir, Masyumi sangat jelas mereprentasikan politik Islam pada masa itu. “Masyumi sangat jelas merepresentasikan politik Islam,” kata dia.
Dalam konteks politik, kata Fachry, Natsir adalah salah satu orang yang turut memikirkan dasar negara. Inilah yang akhirnya menghasilkan polemik antara dirinya dengan Soekarno.
Bicara Natsir, juga tidak boleh lupa mengenai peranannya mempersatukan kembali NKRI. Natsir adalah tokoh yang memikirkan bagaimana NKRI tercipta setelah lahirnya Republik Indonesia Serikat (RIS).
“17 Agustus 1950 Sukarno pidato menerima NKRI atas dasar mosi integral Natsir,” kata Fachry.
Tokoh Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia (DDII) Mohammad Noer menceritakan tentang pendidikan Natsir sangat seimbang antara pendidikan umum dan pendidikan Islam.
Natsir, kata Noer, bisa dikatakan sebagai orang pertama yang mempelopori integrasi pendidikan, antara pendidikan agama dan umum.
“Dari sisi pendidikan, Natsir adalah seorang pendidik. Saat dia ditawarkan beasiswa di Rotterdam, dia menolak tawaran itu dan mengatakan, ‘Saya lebih bertanggung jawab untuk mendidik’,” ungkap Noer.
Saat Natsir sekolah, kata Noer, dia pernah melihat pemuda yang tidak memiliki pendidikan agama, mengejek-ejek Islam. Ia pun berkesimpulan itu terjadi karena pendidikan umum dan pendidikan agama saat itu bertolak belakang (dikotomi). “Natsir berpikir itu bukan salah orangnya, melainkan salah pendidikannya,” tuturnya.
Karena saat menjadi Perdana Menteri pada 1951, Natsir pernah memanggil Menteri Agama KH Wahid Hasyim dan Menteri Pendidikan saat itu, Bahder Djohan, untuk membuat nota kesepahaman (MoU). Pendidikan agama masuk ke pendidikan umum dan pendidikan umum masuk ke pendidikan agama. “Asumsi saya pak Natsir orang pertama yang mencoba mencairkan dikotomi itu,” kata dia.
Mantan Rektor Unissula Semarang, Laode M Kamaluddin, mengaku sudah menamatkan buku karya Natsir, Kapita Selekta Jilid 1 pada usia kelas 4 SD. Laode mengatakan, ayahnya adalah seorang aktivis Syarikat Islam. Sementara pamannya adalah Ketua Masyumi Indonesia Timur.
“Saya bertemu Pak Natsir, waktu jadi Ketua HMI Cabang Bandung. Diantar oleh Yusuf Amir Faisal, setelah peristiwa Malari 1974,” kata Laode menceritakan kisah pertemuan pertamanya dengan Natsir yang demikian membekas.
Guru Besar di sejumlah kampus ini menegaskan, ada tiga tokoh Masyumi yang reputasinya untuk bangsa sukar ditinggalkan. Sukar pula untuk mengatakan bila mereka anti-NKRI.
Pertama, Mohammad Roem. Roem, hingga saat ini belum jadi Pahlawan Nasional. Padahal Perjanjian Roem-Royen lah yang pada akhirnya mengantarkan kepada Konferensi Meja Bundar (KMB).
Kedua, M Natsir. Natsir terkenal dengan Mos Integral yang mengembalikan NKRI. Natsir juga pernah menjabat Perdana Menteri.
Dan ketiga adalah, Sjafruddin Prawiranegara. Dia adalah seorang pejuang kemerdekaan, Menteri, Gubernur Bank Indonesia, Wakil Perdana Menteri dan pernah menjabat sebagai Ketua Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI).
Kebijakan terkenal dari Sjafruddin adalah melakukan sanering atau devaluasi, yakni adalah pemotongan daya beli masyarakat melalui pemotongan nilai uang. Kebijakan itu disebut Gunting Sjafrudin.
Putri Pak Natsir, yang hadir dalam bedah buku, Aisyah Natsir, secara singkat bicara tentang sifat abahnya. Menurut Aisyah, Natsir adalah pribadi yang tidak pernah marah dan menghujat lawannya.
“Jika menegur, orangnya cukup dipanggil. Itu kami rasakan juga di keluarga,” kata Aisyah.
Sebagai seorang pemimpin politik, kata Aisyah, Natsir memiliki ciri khas yang sulit ditemukan pada pemimpin saat ini. Ciri khas itu dimliki baik saat di rumah maupun saat memimpin Masyumi.
“Kalau ada orang datang, pasti disuruh makan dulu. Nggak membedakan, semua orang dihormati. Abah mau mendengarkan orang kecil,” kata dia.
Suatu kali, cerita Aisyah, anak-anaknya bertanya pada Pak Natsir. Kenapa asyik betul berdialog dengan seseorang yang termasuk orang biasa.
“Beliau menjawab, eh dia datang dari jauh. Bagi kita mungkin tak perlu, tapi bagi dia besar sekali artinya. Abah itu orangnya perhatian sekali,” kata Asiyah.
red: shodiq ramadhan