Mohon DPR Berkenan Dengar Suara Ormas-Ormas Islam tentang RUU TPKS
Pada 9 Desember 2021, dikabarkan bahwa sebagian besar fraksi di DPR sudah menyetujui draft RUU Pencegahan Kekerasan Seksual (RUU-PKS) untuk disahkan menjadi Undang-undang. Namun, banyak Organisasi Islam masih meminta DPR agar tidak terburu-buru mengesahkan RUU tersebut. Sebab, masih ada beberapa hal yang kontroversial.
Sebagaimana kita ketahui, Majelis Ormas Islam (MOI) juga sudah secara resmi mendatangi DPR dan menyampaikan aspirasi tentang Permendikbudristek No. 30 Tahun 2021. Sebab, Permendikbud itu masih menggunakan paradigma sexual consent dan relasi gender. Dalam paradigma itu, yang dipersoalkan dalam kasus seksual hanyalah yang dilakukan dengan tanpa persetujuan para pelakunya. Jika dilakukan suka sama suka, maka tidak perlu dipersoalkan.
Belum tuntas masalah Permendikbud 30 tahun 2021, kini DPR melangkah lebih jauh lagi untuk mengesahkan RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) di DPR. Ternyata, RUU ini juga muatan paradigma sexual consent.
Karena itulah, setelah mengkaji RUU TPKS, maka Majelis Ormas Islam (MOI) menyatakan sikapnya, sebagai berikut:
- Mengimbau agar DPR melakukan uji publik atas Naskah Akademik (NA) yang baru dikeluarkan setelah RUU TP-KS, agar tidak terkesan terburu-buru dan seperti menggunakan logika jungkir-balik, dimana RUU dulu dikeluarkan baru NA disusulkan, serta agar menjadi koreksi internal DPR atas metode pembuatan RUU yang tidak sesuai tata aturan yang selama ini berlaku.
- Mengimbau agar DPR menghilangkan seluruh paradigma sexual consent dalam draft RUU TP-KS dan kerangka berpikir feminist legal theory karena tidak sejalan dengan Pancasila, Agama, dan Budaya di Indonesia dan telah ditolak oleh banyak akademisi dan elemen masyarakat. Hal ini terlihat dengan tetap dipertahankan diksi ‘kekerasan seksual’, ‘secara paksa’, ‘keinginan seksual’, ‘pemaksaan hubungan seksual’, dan ‘pemaksaan menggunakan alat kontrasepsi’, sebagaimana pasal 1, 4, 5, 6, 7, dan 8;
- Menolak redaksi yang hanya membatasi pada perspektif Hak Asasi Manusia (HAM) saja, padahal tidak semua perspektif HAM sejalan dengan perspektif Agama dan Pancasila, terutama pada bab kebebasan seksualitas, sebagaimana pasal 17 dan 21;
- Mengingatkan DPR atas amanah Mahkamah Konstitusi atas Putusan Judicial Review KUHP Pasal 284, 285, dan 292 untuk mengisi kekosongan hukum (rechtvacuum) atas tindak pidana kejahatan seksual atau kejahatan kesusilaan. Seharusnya DPR segera mengesahkan RUU KUHP, sehingga kekosongan hukum ini segera terjawab, bukan dengan membuat RUU TPKS yang justru membuat potensi hukum yang semakin kompleks dan potensi anggaran negara yang tidak sedikit.
- Mengimbau Badan Legislatif dan Komisi III DPR-RI saling bekerjasama dalam penyelesaian RUU KUHP (amanah periode DPR-RI 2019) sebagai payung tindak pidana di Indonesia, dan agar seluruh aturan yang dimaksudkan bersifat khusus (lex specialis) menjadi sinkron dengan segala aturan yang ada;
- Mengingatkan DPR bahwa RUU TP-KS ini berpotensi menjadi landasan hukum bagi kaum feminis radikal dalam mengembangkan ‘pendidikan seks yang aman’ menggunakan kondom dan sejenisnya kepada murid sejak usia dasar atau sering disebut sebagai Comprehensive Sexual Education (CSE) yang telah ditolak oleh banyak LSM di Barat, dimana generasi bangsa diarahkan untuk melihat kehalalan sebuah perzinahan tidak lagi dengan sudut pandang agama, tapi sekedar dilihat dari sisi ‘hubungan seksual yang sehat dan aman tanpa kekerasan dan ancaman.
- Mengimbau agar istilah ‘kekerasan seksual’ yang kontroversial ini diganti dengan ‘KEJAHATAN SEKSUAL agar sejalan dengan peristilahan hukum dalam KUHP seperti ‘kejahatan’ atau ‘kejahatan kesusilaan’, dan agar memberi solusi bagi kekosongan hukum (rechtvacuum) di Indonesia pada isu kejahatan seksual, dan agar solusi menjadi komprehensif dan tidak melahirkan persoalan baru;
- Mengimbau DPR dan Pemerintah agar memasukkan norma Agama dalam RUU TP-KS dan melibatkan seluruh pakar agama yang mewakili seluruh ormas Islam dalam penyusunannya.
Demikian pernyataan MOI tentang RUU-TPKS yang ditandatangani oleh Ketua Presidium MOI: KH Nazar Haris. Meskipun hampir semua fraksi menyetujui RUU-TPKS, tetapi MOI tetap berharap DPR bersedia menunda pengesahannya. MOU adalah forum silaturrahim 13 Ormas Islam: (1) Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), (2) Persatuan Umat Islam (PUI), (3) Mathla’ul Anwar (4) PP Al Ittihadiyah (5) Al Washliyah (6) Persatuan Islam (PERSIS), (7) Syarikat Islam (8) Al Irsyad Al Islamiyah (9) Persatuan Tarbiyah Islamiyah (PERTI), (10) Badan Kerjasama Pondok Pesantren Indonesia (BKSPPI), (11) Hidayatullah (12) Wahdah Islamiyah, dan (13) Ikatan Da’i Indonesia (IKADI).
Suara para pimpinan Ormas-ormas Islam itu pada intinya meminta agar dalam penyusunan suatu UU, jangan sampai meninggalkan panduan ajaran agama. Apalagi ini menyangkut masalah moralitas seksualitas yang dalam pandangan agama dikatakan sebagai hal yang sakral.
Beberapa hari belakangan, kita dihebohkan dan dibuat geram dengan sejumlah kasus seksual yang mengerikan. Pertama, bunuh dirinya seorang mahasiswi yang berpacaran dengan oknum polisi sampai hamil dan menggugurkan kandungannya. Kedua, kasus seorang guru pesantren yang memperkosa 13 santri sampai 8 diantaranya melahirkan anak. Ini sungguh perilaku biadab, yang hukuman setimpalnya adalah hukuman mati.
Sebagaimana dalam kasus Permendikbud No 30 tahun 2021, MOI meminta pemerintah dan DPR agar mengesahkan RUU tentang Kejahatan Seksual. “Kejahatan Seksual” lebih komprehensif dalam menanggulangi kasus-kasus seksual yang jahat, baik yang dilakukan dengan saling persetujuan (perzinahan) maupun yang dilakukan dengan kekerasan.
MOI yakin bahwa RUU yang tidak memandang zina sebagai satu tindak kriminal (pidana) pasti bertentangan dengan ajaran agama. Padahal, dalam pembukaan UUD 1945, ditegaskan, bahwa negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Juga dalam pasal 31 (3) disebutkan bahwa: pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan, ketakwaan, dan akhlak mulia.