Momen Tepat bagi Penjilat
Ada momen-momen yang dianggap sangat tepat bagi para penjilat di masa lalu ketika saya masih di dunia pemberitaan koran nasional tahun 1990-an.
Biasanya, begitu ada peristiwa yang kira-kira tepat sekali untuk menambah penjilatan, maka sosok-sosok tertentu pun muncul di kantor (atau mengutus utusannya) dengan membawa naskah penjilatannya. Ditemuilah orang tertentu yang sudah jadi langganannya di kantor media itu
untuk memasukkan naskah berisi komentar-komentar atau opini penjilatannya.
Teman yang jadi langganannya itu duduknya di dekat saya, dan sebenarnya satu desk/bidang garapan dengan saya.
Saat itu tahun 1990-an untuk mengirim naskah, wujudnya adalah tulisan ketikan. Belum pakai email, WA dan sebagainya. Jadi saya bisa tahu orangnya, tahu naskahnya, dan isinya (ketika sudah dimuat di koran esok harinya. Tidak bisa langsung muat seperti di internet sekarang. Kan namanya koran harian.
Walau saya sudah tahu bahwa isinya itu penjilatan berupa opini mengenai peristiwa heboh yang barusan terjadi, namun begitu koran itu terbit dan memuatnya, masih saya baca juga. Karena untuk tahu seberapa kadar penjilatannya.
Perlu diketahui, suara yang mengritisi kejadian dengan obyektif dan menuntun umat, belum tentu bisa dimuat di koran itu kecuali bila memang benar-benar hebat dan pintar menyusun kata-katanya.
Kenapa?
Karena memang media ini pro penguasa, bahkan beberapa orangnya punya saham di situ. Beda dengan opini penjilatan yang saya ceritakan itu, maka mudah dan cepat untuk dimuat. Kurang-kurang bagus sedikit bahasanya, bahkan bisa dibantu memperbaikinya oleh teman saya itu yang sudah jadi langganannya.
Suatu ketika, ada peristiwa yang heboh di masyarakat, dan bagus sekali momennya bagi penjilat untuk menggelontorkan opini penjilatannya. Kira-kira jam 21 malam naskah pun datang, tapi rupanya tidak diantar oleh penjilatnya. Rupanya entah siapa yang menyuruh, bagian pengantar naskah di kantor menyampaikan ke saya, karena teman saya itu sedang tidak hadir (entah ke luar kota atau ada halangan lain). Lalu saya baca baik-baik.
Saya tidak punya kuasa untuk menguasai hati saya untuk berani menyalurkan naskah itu. Saya merasa berdosa kalau ikut-ikutan menipu umat. Maka saya buanglah naskah berisi penjilatan itu di keranjang sampah di sebelah meja saya.
Legalah hati saya. Alhamdulillah.
Mungkin orang yang diceritakan ini sudah wafat. Tapi tingkah manusia biasanya ada pewaris-pewarisnya atau penerus-penerusnya. Kenyataannya, kini saya miris bila ada para pewaris sang penjilat itu beramai-ramai menjilat lewat medsos dan sebagainya, di saat ada momen-momen yang dianggap tepat. Nilai mereka tidak lebih dari yang namanya penjiat, walau mungkin merasa sebagai orang terhormat.
Sebaik-baik perkataan adalah kalamullah, firman Allah. Dalam hal penjilatan ini di antaranya ada peringatan keras dari Allah Ta’ala dalam rangkaian ayat 175-176 dari Surat Al A’raf:
“Dan bacakanlah kepada mereka berita orang yang telah Kami berikan kepadanya ayat-ayat Kami (pengetahuan tentang isi Al Kitab), kemudian dia melepaskan diri dari pada ayat-ayat itu, lalu dia diikuti oleh syaitan (sampai dia tergoda), maka jadilah dia termasuk orang-orang yang sesat.” (QS. Al A’raf: 175)
“Dan kalau Kami menghendaki, sesungguhnya Kami tinggikan (derajat)nya dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah, maka perumpamaannya seperti anjing jika kamu menghalaunya diulurkannya lidahnya dan jika kamu membiarkannya dia mengulurkan lidahnya (juga). Demikian itulah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Maka ceritakanlah (kepada mereka) kisah-kisah itu agar mereka berfikir.” (QS. Al A’raf: 176).
Kasihan. Tipu daya penjilat tidak akan mengangkat derajat mereka, dan hanya akan menghasilkan kecewa bahkan apes dan celaka. Kecewa di dunia telah diderita karena dalam contoh itu ‘naskah penjilatannya pun dibuang orang’ atau kecewa-kecewa lainnya misalnya dikenal umat sebagai seorang penjilat, sedang di akhirat akan mempertanggungjawabkan kelakuan buruknya itu.
Hidup satu kali saja kok ya jadi penjilat. Siapa suruh?
Hartono Ahmad Jaiz
Penulis, mantan wartawan