MOS, Mimpi Buruk bagi Murid Baru
Seharusnya, sejak dikeluarkannya peraturan dari Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan No.18 tahun 2016 tentang Pengenalan Lingkunan Sekolah (PLS), aktivitas MOS tidak lagi dilakukan dengan senioritas oleh kakak-kakak kelas terhadap murid baru. Tapi pada kenyataannya, MOS masih tetap ada.
Warisan Kolonial
MOS atau perploncoan di Indonesia dimulai sejak zaman kolonial Belanda, yaitu di Sekolah Pendidikan Dokter Hindia (1898-1927). Siswa baru harus menjadi pembantu bagi para senior untuk membersihkan ruangan kelas. Tradisi tersebut kemudian berlanjut pada era Geneeskundinge Hooge School (GHS) atau Sekolah Tinggi Kedokteran (1927-1942).
STOVIA dan GHS inilah yang sekarang menjadi FKUI Salemba. Pada masanya, kegiatan itu menjadi lebih formal meskipun masih bersifat sukarela. Bahasa Belandanya plonco waktu itu adalah ontgroening. Kata groen artinya hijau. Ontgroening yaitu “membuat tidak hijau lagi”, jadi proses ini dimaksudkan untuk mendewasakan si anak baru itu.
Plonco bisa juga diartikan dengan gundul, yaitu melambangkan ketidaktahuan. Aktivitas perploncoan dianggap sisa kolonialisme dan feodalisme. Seperti dikutip dari Historia, Mohammad Roem, menceritakan pengalamannya diplonco ketika masuk Stovia (Sekolah Dokter Bumiputera) pada 1924. (KRJogja.com, 18/7/2016).
Pandangan Islam terhadap MOS
Maka dikembalikan pada tujuan awal. Jika MOS bertujuan untuk memperkenalkan murid pada lingkungan pendidikan baru, agar tumbuh kecintaan terhadap almamater. Maka Islam pun memiliki mekanisme tersebut. Penanaman akidah sejak dini serta pemahaman tsaqofah Islam, dengan sendirinya membentuk generasi muslim yang cinta pada agamanya.
Penerapan hukum Islam di sekolah dan di luar sekolah, akan menjaga kecintaan tersebut. Dari keimanan yang benar inilah yang kemudian mendorong manusia untuk untuk beraktivitas mulia. Maka tanpa dikomando hati dan pikirannya akan selalu mengarah pada kebaikan. Segala hal yang datang dari Islam akan dicintai dan dibela. Baik itu datang dari materi pelajaran, guru atau sekolah.
Islam membentuk manusia cinta ilmu. Ulama dahulu perlu menempuh perjalanan ratusan hingga ribuan kilometer, hanya untuk mendapatkan satu hadits saja. Lihat semangat yang luar biasa dari mereka. Imam Nawawi dalam sehari bisa menghadiri 12 majelis untuk belajar dengan guru. Banyak nash tentang keutamaan menuntut ilmu serta adab terhadap guru.
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam. Beliau bersabda, “Tidak termasuk golongan kami orang yang tidak menghormati yang lebih tua dan menyayangi yang lebih muda serta yang tidak mengerti hak ulama,” (HR. Ahmad dan dishahihkan Al Albani dalam Shahih Al Jami).
Dalam Islam, hormat kepada guru dan giat menuntut ilmu, berpahala. Sedangkan pada aktivitas MOS, kosong dari nilai ruhiyah. Tidak diperintahkan di Alquran dan tidak dicontohkan oleh Rasul. Apalagi jika hanya ikut-ikutan ala kolonialisme Hindia Belanda.
Jika MOS diarahkan untuk membentuk mental yang berani, Islam pun tak kalah apiknya membentuk kepribadian (syakhsiyah) murid. Yaitu melalui pembentukan aqliyah (pola pikir) dan nafsiyah (pola sikap) Islam. Syakhsiyah Islam adalah sebuah kepribadian berkualitas tinggi berlandaskan takwa.
Seseorang dengan kepribadian (syakhsiyah) Islam dipastikan mampu memimpin dunia. Inilah keberanian yang sesungguhnya. Maka setiap muslim harus mengukur aktivitasnya untuk melindungi generasi. Yaitu dengan hanya memberikan asupan yang berkualitas, yang datang dari Allah Subhaanahu wa ta’ala. Agar mereka kelak mampu menaklukkan dunia demi tegaknya kalimat Allah. Wallahu ‘alam.
Lulu Nugroho
Muslimah Penulis dari Cirebon