NASIONAL

MUI Minta Pemerintah Jangan Gegabah Soal Kenaikan Tarif BPJS

Jakarta (SI Online) – Rencana pemerintah untuk menaikan tarif iuran BPJS Kesehatan mulai 2026 mendapat tanggapan dari Wakil Ketua Lembaga Kesehatan MUI Dr dr Bayu Wahyudi.

Dokter Bayu mengingatkan pemerintah untuk berhati-hati terkait rencana kenaikan iuran tarif BPJS 2026. Dokter Bayu menjelaskan, rencana tersebut harus mempertimbangkan keseimbangan antara sustainabilitas BPJS dan beban masyarakat.

“Jika tidak, dikhawatirkan akan menimbulkan penolakan publik atau justru memperburuk akses kesehatan bagi kelompok miskin,” kata dr Bayu dikutip dari MUIDigital, Kamis (21/8/2025).

Selain itu, dia meminta agar pemerintah juga harus transparan dalam mengelola dana, termasuk pengelolaan Dana Jaminan Sosial (DJS) yang dikelola BPJS Kesehatan.

Direktur BPJS Kesehatan 2016-2021 ini meminta agar pemerintah juga menjamin bahwa kenaikan tarif berbanding lurus dengan peningkatan kualitas layanan, serta kualitas hidup dan kesejahteraan tenaga medis dan tenaga kesehatan yang memberikan pelayanan kesehatan.

“Pemerintah perlu memastikan kenaikan iuran juga berdampak pada peningkatan insentif bagi dokter, perawat, dan tenaga kesehatan yang selama ini sering dianggap kurang memadai di layanan BPJS Kesehatan karena tarif INA CBGs yang terlalu rendah sehingga tidak memenuhi jasa pelayanan Named dan Nakes serta operasional Faskes,” ungkapnya.

Ketua Umum PP Masyarakat Kesehatan Syariah ini mengingatkan rencana tersebut juga harus mempertimbangkan daya beli masyarakat, terutama kelompok miskin dan rentan, serta masyarakat Daerah Perbatasan Terpencil dan Kepulauan (DPTK).

Kemudian, dia meminta agar pemerintah menjelaskan alasan kenaikan dan menjamin dana iuran digunakan secara optimal untuk pelayanan kesehatan untuk kepentingan peserta JKN.

“MUI mungkin mendorong pemerintah untuk mencari sumber pendanaan lain (misalnya dari APBN atau optimalisasi anggaran) agar tidak membebani peserta khususnya peserta non penerima bantuan iuran (Non PBI) seperti peserta mandiri (peserta bukan penerima upah),” ungkapnya.

Dia menekankan kenaikan iuran BPJS Kesehatan akan berdampak luas, sehingga pemerintah perlu mempertimbangkannya.

Untuk itu, menurutnya, perlunya subsidi tetap bagi kelompok miskin dan penyesuaian tarif berdasarkan strata pendapatan. Selain itu, dia meminta agar pemerintah melakukan Universal Health Coverage (UHC) pada semua penduduk yang belum tercober JKN.

“Sesuai Undang-Undang JKN Nomor 40 Tahun 2004 dan UU BPJS Nomor 24 Tahun 2011 yang mewajibkan seluruh penduduk Indonesia termasuk penduduk miskin dibiayai oleh pemerintah,” tegasnya.

Dia meminta agar kenaikan tarif harus diikuti penyesuaian tarif INA-CBGs (sistem klaim BPJS) ke rumah sakit (FKTL) dan klinik, serta praktek dokter perorangan (FKTP) agar tidak merugikan penyedia layanan. Menurutnya, selama ini banyak dikeluhkan faskes penyedia pelayanan kesehatan.

“Realita di lapangan sampai saat ini banyak faskes mengeluh tarif BPJS tidak menutup biaya operasional. Jika klaim ke faskes tidak memadai, dikhawatirkan terjadi penurunan kualitas layanan atau terjadi fraud (kecurangan) yang dilakukan faskes (baik FKTP maupun FKTL) karena terpaksa melakukannya untuk menutup biaya operasional, hingga terjadi penolakan pasien BPJS Kesehatan di fasilitas kesehatan dan terutama akan terasa di daerah DPTK,” ungkapnya.

Lebih lanjut, dia menyarankan pemerintah untuk meningkatkan kontribusi APBN untuk BPJS seperti menaikan subsidi PBI, alih-alih hanya mengandalkan iuran peserta. Selain itu, melakukan pengawasan defisit, karena BPJS kerap defisit akibat kecurangan (upcoding, fraud) sehingga perlu penguatan pengawasan.

“Sosialisasi manfaat kenaikan iuran agar masyarakat memahami tujuannya, misalnya untuk perluasan cakupan layanan atau stabilitas sistem,” ungkapnya.

Dia mendorong pemerintah juga memanfaatkan Coordination on Benefits (COB) dengan asuransi komersil lebih ditingkatkan, sehingga masyarakat yang ingin pelayanan kesehatan, fasilitas sarana yang lebih dapat dipenuhi. [ ]

Artikel Terkait

Back to top button