RESONANSI

Mulyono yang Terakhir

Dalam tahun 1998 seorang tokoh reformasi bernama Prof Dr M Amien Rais menulis dan pidato kemana-mana dengan beraninya.

Nyawanya dia pertaruhkan dikejar-kejar intel dan para penjilat pemerintah yang KKN dan sangat kuatnya ketika itu.

Sekarang tokoh reformasi itu masih lantang bersuara karena tidak ingin pemerintah yang dulu dia jatuhkan karena KKN muncul lagi pemerintah KKN yang baru.

Ini yang disebut dengan istiqamah, berkarakter, idealisme, integritas, tidak plin plan neko-neko alias munafik.

Sependapat dengan Prof Dr Amien Rais, Mulyono harus dihukum sesuai dengan rule of law atas nama keadilan trias politica.

Dengan menghukum Mulyono bukan berarti kita benci dengan individu itu, tetapi demi masa depan bangsa dan negara.

Ia bertujuan supaya tidak muncul lagi Mulyono-Mulyono baru yang memiliki daya rusak amat dahsyat dan jangka panjang terhadap sistem sivil, sosial, politik, ekonomi, pembangunan dan budaya bangsa ke depannya.

Kemiskinan, pengangguran, kriminal, buta huruf, hutang negara, korupsi, kesengsaraan yang akan dirasakan oleh anak cucu kita akibat pemimpin yang menyalahgunakan kuasa, mempertahankan status quo, memperkaya dan menyenangkan diri keluarga dan para penjilat.

Jika Ebid G Ade bertanya dosa siapa ini dosa siapa, maka jawapannya ada pada diri kita yang tidak mencegah kemungkaran munculnya pemimpin yang tidak kredible dengan kekuatan, lisan, tulisan dan tidak membenci kemungkaran itu dalam hati bagi yang lemah imannya.

Energi bangsa dan negara ini telah banyak terbuang untuk pemimpin yang mempertahankan kuasa, menyalahgunakan kuasa, KKN yang menjadi musuh utama reformasi 1998 dulu.

Tidak perlu lagi berulang sejarah lama dimana pemimpin mengorbankan tenaga, harta, waktu dan nyawa rakyat demi untuk mempertahankan kuasanya.

Kerusakan bangsa dan negara dimulai dari seorang pemimpin yang menganggap negara bagaikan harta warisan orang tuanya dan menganggap orang selain mereka hanya mengontrak di negara ini.

Indonesia tidak memerlukan Kim Jong I, II, III dan seterusnya karena Indonesia berdasarkan Kedaulatan Rakyat bukan Kedaulatan pemimpin yang akan mati dan datang silih berganti.

Generasi milenia jangan seperti orang tua yang kehilangan tongkat dua kali. Percaya pada simbol-simbol dan slogan slogan kosong yang tidak didasarkan pada hasil penyelidikan ilmiah. Sebuah kepemimpinan yang tidak punya konsep, idea, gagasan dan masa depan yang jelas untuk kebaikan bangsa dan negara.

Mulyono yang terakhir dan kita tidak memerlukan Mulyono-Mulyono baru setelah ini. []

(Afriadi Sanusi, PhD)

Artikel Terkait

Back to top button