Mungkinkah Non Muslim Menjadi Presiden?
Wahid melangkah lebih jauh. Ia mengusulkan pasal 28 mengenai agama berisi ketentuan yang secara jelas mengatur Islam sebagai agama negara. “Agama negara adalah Islam dengan menjamin kemerdekaan orang-orang yang beragama lain…” Menurut Wahid ini penting bagi pembelaan negara saat diperlukan.
“Pada umumnya, pembelaan yang berdasarkan kepercayaan sangat hebat. Menurut ajaran agama, nyawa hanya boleh diserahkan buat ideologi agama.” Pandangannya ini disokong Soekiman Wirjosandjojo, anggota pantia kecil yang membahas konstitusi. “Itu akan memuaskan rakyat,”kata politikus dari Partai Masjumi itu.
Setelah perdebatan panjang, poin-poin dari Wahid Hasyim ini diterima sebagai keputusan rapat oleh pimpinan rapat yang diketuai Presiden Soekarno.
Tapi keputusan yang telah dirunding berhari-hari itu, akhirnya mentah semua pada tanggal 18 Agustus 1945. Sehari setelah kemerdekaan, Soekarno dan Hatta memimpin rapat yang menghapus semua kata Islam, di konstitusi. Dan Wahid Hasyim, yang gigih memperjuangkan pasal-pasal itu tidak diikutsertakan.
Wahid Hasyim yang saat itu berusia 31 tahun memang hebat. Ia mengikuti jejak bapaknya KH Hasyim Asyari dalam memperjuangkan Islam Indonesia. Beda dengan putranya Abdurrahman Wahid yang pandangan dan perjuangannya sekuler. Wahid Hasyim dalam perjalanan kehidupannya bersahabat dengan Mohammad Natsir, tokoh terkemuka Masyumi.
***
Pernyataan Jokowi tentang presiden non Muslim ini pernah juga diungkap Ahok. Sewaktu menjadi ‘gubernur DKI Jakarta’, Ahok menyatakan bahwa presiden boleh non Muslim menurut Pancasila.
Setelah merasakan nikmatnya menjadi gubernur, Ahok memang ingin menjadi presiden. Sayang akhlaknya yang buruk –menghalalkan minuman keras dan perzinahan- menjadikan dia ‘terpeleset’ menghina Al-Qur’an. Ahok berulangkali menghina Al-Qur’an, khususnya surat al Maidah ayat 51.
Seperti kita ketahui, al Maidah ayat 51 adalah ayat tentang kepemimpinan. Seorang Muslim dilarang mengangkat orang-orang kafir, khususnya Nashrani dan Yahudi menjadi pemimpin. Allah SWT berfirman, “Hai orang-orang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nashrani menjadi pemimpin-pemimpin (mu). Sebagian mereka adalah pemimpin bagi sebagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.”
Apa hikmahnya Al-Qur’an melarang orang-orang kafir menjadi pemimpin? Ya karena orang kafir tahunya hanya dunia. Orang kafir tidak percaya atau ragu-ragu terhadap akhirat. Orang kafir atau orang yang pemikirannya kafir (boleh jadi dia Muslim tapi pemikirannya kafir) bermazhab materialisme. Mereka hanya percaya pada yang nampak. Mereka tidak percaya pada yang tidak nampak.
Maka dalam pandangan Jokowi dan Ahok, pembangunan berarti membangun jalan, gedung-gedung, jembatan (infrastruktur), sekolah, memberi makan pada rakyat dan seterusnya. Tidak dalam pemikiran mereka membangun itu adalah membangun manusia seutuhnya, agar menjadi insan kamil. Manusia sempurna yang mendekati Rasulullah saw. Membangun imannya, membangun ilmunya dan membangun akhlaknya.
Bila orang iman, ilmu dan akhlaknya mulia, maka ia pasti akan membawa manfaat besar bagi sekitarnya. Bila ia menjadi seorang arsitek, maka ia akan benar-benar membuat bangunan yang indah, kokoh dan bermanfaat bagi manusia. Bila ia seorang guru, maka ia akan serius dalam mengajar dan memperhatikan akhlak anak didiknya. Bila ia seorang presiden, maka ia akan benar-benar memperhatikan rakyatnya. Ia akan berbuat adil. Tidak mendulukan pribadi, keluarga atau partainya. Tidak memperkaya diri. Memperhatikan benar-benar kebutuhan rakyatnya baik materiil maupun spiritual.