Muslim; My Identity My Dignity
Mahasiswa adalah corong penyambung lidah antara rakyat dan penguasa. Pada dirinya terdapat potensi kritis dan berani dalam menyampaikan kebenaran. Sejatinya mahasiswa adalah agen perubahan (agent of change) yang dapat memberikan solusi bagi permasalahan yang dihadapi oleh rakyat dan bangsa di berbagai belahan dunia.
Sayangnya, kondisi mahasiswa saat ini tidaklah seperti yang diharapkan oleh rakyat. Dunia mahasiswa mulai terpengaruh dengan gaya hidup hedonis, lebih mementingkan kesenangan dan kenyamanan dalam hidupnya. Maka tidak heran, jika hari-harinya hanya disibukkan dengan study oriented, tugas-tugas yang menggunung hingga fokus pemikirannya sebatas untuk kesuksesan dan kepuasan dirinya sendiri, hingga nyaris lupa bahkan tidak tahu bahwa dirinya adalah agent of change.
Ditambah era saat ini telah memasuki era globalisasi, dimana arus budaya liberal dapat dengan mudahnya masuk dan dinikmati oleh para mahasiswa. Seharusnya mahasiswa bijak memilah apa yang di dapat dari dampak globalisasi, akan tetapi justru kondisinya mereka terbawa derasnya arus globalisasi. Akibatnya mahasiswa kehilangan keberanian dan ke-kritisannya. Hal ini karena gencarnya arus pemikiran praktis yang dibawa oleh dunia barat, perkembangan teknologi dan modernisasi yang ‘menina bobokan’, dan banyaknya informasi di dunia maya yang sulit untuk difilter.
Mulai marak saat ini, mahasiswa terjebak dalam program deradikalisasi kampus. Deradikalisasi adalah program yang bertujuan menetralkan pemikiran-pemikiran mahasiswa yang sudah terpapar radikalisme agar kembali menjadi bagian dari masyarakat yang biasa (bnpt.or.id.). Berbagai stigma negatif tentang radikalisme di kampus saat ini menjadi booming. Pemberantasan paham radikal dan terorisme di kampus ini bahkan menjadi fokus BNPT bersama elemen pemerintah, sehingga berbagai upaya tengah dilakukan untuk menghapus paham yang dianggap radikal di kampus dengan berbagai agenda kampus. Radikal yang dimaksudkan oleh pemerintah adalah gerakan Islam yang mengusung Islam kaffah. Hal ini justru semakin membuat mahasiswa phobia akut terhadap Islam dan justru menghindarkan diri mereka dari kegiatan keislaman, tanpa mereka telaah dengan pemikiran kritis.
Berbagai hal di atas yang menjadikan mahasiswa (khususnya mahasiswa muslim) tergerus arus globalisasi adalah karena diterapkan sistem pendidikan sekuler-kapitalis. Sistem ini lahir dari ideologi kapitalis-demokrasi yang hari ini diemban oleh negara. Orientasi lembaga pendidikan hari ini bukan lagi mencetak ilmuwan cerdas yang akan mempersembahkan segala kemampuannya demi kemajuan bangsa. Orientasi pendidikan hari ini beralih menjadi komoditas ekonomi, mencetak para pekerja yang siap pakai untuk industri-industri yang telah disiapkan oleh para pemilik modal. Potret buruk mahasiswa, khususnya mahasiswa muslim menunjukkan bahwa begitulah kondisi pemuda “zaman now”, belum bisa memilih jalan yang baik dalam hidupnya. Mereka hanya memilih jalan yang mulus untuk mencapai kebahagiaan. Mereka menganggap hidup ini harus instan, tanpa resiko apapun, tapi mampu membawanya pada kebahagiaan.
Lebih mirisnya, pemuda muslim saat ini menjalani hidupnya tanpa standar, melakukan perbuatan asal-asalan tanpa melihat standar perbuatan yang ia lakukan. Dan akhirnya melakukan perbuatan yang buruk (tercela) namun ia menganggap itu baik (terpuji). Agar tidak salah memberi standar perbuatan baik atau buruk, maka dibutuhkan standar yang konstan untuk menilai setiap perbuatan, sehingga kita akan mengetahui status hukum sebelum melakukannya.
Islam telah menjadikan syariat sebagai standar yang konstan dan permanen untuk mengukur perbuatan, yang nantinya tidak akan pernah berubah sampai kapanpun. Mau yang dulu, sekarang atau yang akan datang tak akan pernah berubah. Dengan demikian, sebagai seorang muslim wajib terikat dengan syariat ketika hendak melakukan suatu perbuatan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya (baik kebutuhan jasmani maupun kebutuhan naluri) , maka wajib secara syar’i mengetahui hukum Allah tentang perbuatan tersebut sebelum melakukannya, sehingga ia dapat berbuat sesuai dengan hukum syara’.
Seorang muslim harus menundukkan pandangan, amal, dan tindakan sesuai syariat: menjadikan Islam sebagai tolak ukur untuk menilai/memandang sesuatu, sehingga dapat diketahui bahwa perbuatan yang terpuji (baik) itu harus dikerjakan dan perbuatan yang tercela(buruk) itu harus ditinggalkan. Termasuk dalam hal berperilaku/mengamalkan.
Kewajiban untuk menjadi pribadi muslim yang taat merupakan konsekuensi dari keimanan kita dan jawaban atas tiga pertanyaan mendasar (darimana kita berasal, untuk apa kita diciptakan dan akan kemana kita). Hidup bagi seorang muslim adalah perjalanan. Perjalanan yang dimulai dari kelahiran di dunia lalu berjalan menuju Sang Pencipta guna mempertanggung-jawabkan seluruh amalannya di dunia. Kehidupan seorang muslim yang baik amatlah jauh dari gaya hidup orang-orang sekuler (memisahkan agama dari kehidupan). Kehidupan seorang muslim adalah kehidupan yang bermutu tinggi. Hidup tak asal hidup. Kehidupannya memiliki arah dan tujuan yang jelas. Sebab Allah SWT telah menetapkan tujuan hidup hambaNya yang beriman untuk beribadah kepadaNya.
Seorang muslim dengan landasan keimanannya akan menjalankan seluruh aktifitas kesehariannya sesuai dengan tujuan hidupnya. Shalat, puasa, sekolah/kuliah, kerja, dan seluruh kegiatannya dalam rangka untuk beribadah kepada Allah dengan didasari pengetahuannya tentang Allah dan syariat Islam. Seorang muslim yang taat tidak akan melakukan aktifitas yang sia-sia tak bernilai ibadah, dan membenci semua bentuk kemaksiatan, karena hal itu justru semakin menjauhkan dirinya dari tujuan hidup.
Ketika akhirat dan ridha Allah subhanahu wa ta’ala sudah menjadi tujuan hidup seorang muslim, maka dia akan menyadari bahwa Rasulullah adalah teladan dalam kehidupan. Setiap perkataan dan perilaku disandarkan pada tolak ukur halal-haram. Tak lupa ia akan menjadikan hidup untuk menjalankan kewajiban amar ma’ruf nahi munkar dan meraihnya sebagai kemuliaan untuk diri, keluarga, umat, dan perjuangan untuk menegakkan syariat Islam.
Pada faktanya gaya hidup sekulerisme tidak mampu dijadikan sebagai pedoman hidup. Lantas pertanyaannya, mengapa kita tidak segera berpaling pada ideologi (mabda) Islam yang nyata-nyata bersumber dari sang Pencipta, Allah SWT, dan telah terbukti selama berabad-abad menjadi rahmatan lil alamin?.
Allah SWT telah berfirman: “Inilah jalan-Ku yang lurus. Karena itu ikutilah oleh kalian jalan itu dan janganlah kalian mengikuti jalan-jalan lain yang dapat menyimpangkan kalian dari jalan-Nya. Demikianlah Allah memerintahkan hal itu kepada kalian agar kalian bertakwa.” (TQS al-Anam [6]: 153).
Islamlah satu-satunya ideologi (mabda) yang sahih. Islam hadir sebagai wujud kasih sayang Allah SWT kepada makhluk-Nya. Islam hadir untuk mengatur seluruh aspek kehidupan kita, seluruh aturan kehidupan sudah sempurna dalam Al Qur’an. Di sinilah pentingnya setiap pribadi muslim untuk menegakkan sistem Islam sebagai ideologi untuk dirinya, untuk masyarakat, dan untuk kehidupan bernegara. Dengan demikian, syariat Islam bisa benar-benar diterapkan (tidak hanya sebagai ibadah ritual, akan tetapi juga sebagai solusi untuk memecahkan problematika umat).
Retnaning Putri, S.S